Minggu, 31 Mei 2009

PENGELOLAAN ZAKAT

MANAJEMEN PENGELOLAAN ZAKAT/ INFAQ DAN SHADAQAH:
Efektivitas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang
Pengelolaan Zakat di Sulawesi Tengah) 1)
Oleh:
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA2)
A. Pendahuluan
Bila membicarakan efektivitas peraturan perundang-undangan tentang Manajemen Pengelolaan Zakat / infaq dan shadaqah berarti membicarakan daya kerjanya hukum itu dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektivitas hukum dimaksud, berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu: berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis. Karena itu, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat, yaitu: (1) kaidah hukum/peraturan itu sendiri; (2) petugas/penegak hukum; (3) sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum; dan (4) kesadaran masyarakat. Hal itu akan diuraikan secara berurut sebagai berikut.
B. Kaidah hukum yang mendasari undang-undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat
Kaidah hukum yang mendasari undang-undang no. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat adalah kaidah hukum Islam yang bersumber dari Alqur’an dan hadis. Kaidah hukum dimaksud, di antaranya: Alqur’an Surah At-Taubah: 60
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Ayat Alqur’an tersebut, yang mendasari manajemen penmgelolaan zakat sehingga lahir Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,3) Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D – 291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Karena itu, dapat dikatakan bahwa sangat rinci aturan yang berkaitan manajemen pengelolaan zakat / infaq dan shadaqah.
C. Penegak Hukum
Penegak Hukum dalam hal peraturan perundang-undang tentang pengelolaan zakat adalah Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat. Karena itu perlu diuraikan Fungsi dan Tugas Pokok Pengurus Badan Amil Zakat
3.1 Badan Amil Zakat
3.1.1 Dewan Pertimbangan
a. Fungsi
Memberikan pertimbangan, fatwa, saran dan rekomendasi kepada Badan pelaksana dan Komisi Pengawas dalam pengelolaan zakat oleh Badan Amil zakat, meliputi aspek syari’ah dan aspek manajerial
b. Tugas Pokok
1) Menetapkan garis-garis kebijakan umum Badan Amil Zakat;
2) Mengesahkan rencana kerja Badan Pelaksana dan komisi Pengawas;
3) Mengeluarkan fatwa syari’ah baik diminta maupun tidak berkaitan dengan hukum zakat;
4) Memberikan pertimbangan, saran, dan rekomendasi kepada Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas.
5) Memberikan persetujuan dan laporan tahunan hasil kerja Badan pelaksana dan Komisi pengawas;
6) Menampung masalah dan menyampaikan pendapat umat tentang pengelolaan zakat.
3.1. 2 Komisi Pengawas
a. Fungsi
Komisi Pengawas melaksanakan pengawasan internal atas kegiatan yang dilaksanakan Badan pelaksana dalam pengelolaan Zakat.
b. Tugas Pokok
1) Mengawasi pelaksanaan rencana kerja yang telah disahkan;
2) Mengawasi pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan Badan Amil Zakat;
3) Mengawasi operasional kegiatan yang dilaksanakan Badan Pelaksana, yang mencakup pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan;
4) Melakukan pemeriksaan operasional dan pemeriksaan syari’ah.
3.1.3 Badan Pelaksana
a. Fungsi
Sebagai Pelaksana pengelolaan zakat.
b. Tugas Pokok
1) Membuat rencana kerja yang meliputi rencana pengumpulan, penyaluran dan pendayagunaan zakat;
2) Melaksanakan operasional pengelolaan zakat sesuai rencana kerja yang telah disahkan dan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan;
3) Menyusun laporan tahunan;
4) Menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah;
5) Bertindak dan bertanggungjawab untuk dan atas nama Badan Amil Zakat baik ke dalam maupun ke luar.
Selain Badan Amil zakat yang diungkapkan di atas, perlu dikemukakan pembentukan unit pengumpul zakat dan pengukuhannya. Hal itu diungkapkan sebagai berikut.
1) Badan Amil Zakat Propinsi
Badan Amil Zakat daerah propinsi dapat membentuk Unit Pengumpul zakat pada instansi/lembaga pemerintah daerah, BUMN, BUMD dan perusahaan swasta yang berkedudukan di ibu kota propinsi.
2) Badan Amil Zakat daerah kabupaten/kota
Badan Amil Zakat daerah kabupaten/kota dapat membentuk Unit pengumpul zakat pada instansi/lembaga pemerintah daerah, BUMN, BUMD dan perusahaan swasta yang berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota.
3) Badan Amil Zakat Kecamatan
Badan Amil Zakat daerah kecamatan dapat membentuk Unit pengumpul zakat pada instansi/lembaga pemerintah daerah, BUMD dan perusahaan swasta yang berkedudukan di wilayah kecamatan dan juga membentuk Unit Pengumpul Zakat di tiap-tiap desa/kelurahan.
Unit pengumpul zakat dibentuk dengan Keputusan Ketua Badan Pelaksana Badan Amil Zakat sesuai dengan tingkatannya. Prosedur pembentukan Unit Pengumpul zakat dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut :
1) Badan Amil zakat sesuai dengan tingkatannya mengadakan pendataan di berbagai instansi dan lembaga sebagaimana tersebut di atas.
2) Badan Amil zakat sesuai dengan tingkatannya meng-adakan kesepakatan dengan pimpinan instansi dan lembaga sebagaimana tersebut di atas, untuk memben-tuk Unit Pengumpul zakat.
3) Ketua Badan Amil zakat sesuai dengan tingkatannya mengeluarkan surat Keputusan pembentukan Unit Pengumpul zakat.
Unit Pengumpul zakat melakukan pengumpulan dana zakat, infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat di unit masing-masing, dengan menggunakan formulir yang dibuat oleh Badan Amil Zakat, dan hasilnya disetorkan kepada bagian pengumpulan Badan Pelaksana Badan Amil Zakat, karena Unit Pengumpul zakat tidak bertugas mendayagunakan.
3.2 Lembaga Amil Zakat (LAZ)
Lembaga Amil Zakat adalah institusi pengelola zakat yang sepenuhnya dibentuk atas prakarsa masyarakat dan oleh masyarakat yang bergerak di bidang da’wah, pendidikan, sosial dan kemaslahatan umat Islam
Pengukuhan dan pembinaan Lembaga Amil Zakat dilakukan oleh Pemerintah. Karena itu, untuk mendapatkan pengukuhan, Lembaga Amil Zakat mengajukan permohonan kepada pemerintah sesuai dengan tingkatannya dengan melampirkan sayarat-syarat sebagai berikut :
1) berbadan hukum;
2) Data Muzakki dan Mustahik;
3) Telah beroperasi minimal 2 tahun;
4) Memiliki laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik selama 2 tahun terakhir;
5) Memiliki wilayah operasional minimal 40 % dari jumlah Kabupaten/Kota di Propinsi tempat lembaga berqada;
6) Mendapat rekomendasi dari kantor wilayah Departemen Agama Propinsi setempat;
7) Telah mampu mengumpulkan dana Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dalam setahun;
8) Melampirkan surat pernyataan bersedia disurvei oleh Tim yang dibentuk oleh Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi dan diaudit oleh akuntan publik;
9) Dalam melaksanakan kegiatan bersedia berkoordinasi dengan Badan Amil Zakat Daerah (Bazda) dan Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Wilayah Operasional.
Klasifikasi Lembaga Amil Zakat sama dengan Badan Amil Zakat di Sulawesi Tengah, yaitu: Lembaga Amil Zakat propinsi, Lembaga Amil Zakat kabupaten/kota dan Lembaga Amil Zakat kecamatan. Lembaga Amil Zakat dimaksud mempunyai ciri khas sebagai berikut.
3.2.1 Lembaga Amil Zakat Propinsi
Untuk Lembaga Amil Zakat propinsi, harus mencantumkan kata “propinsi” dalam akte pendiriannya dan mengumpulkan dana zakat di wilayah propinsi dan mendayagunakan dana zakat untuk wilayah propinsi yang bersangkutan.
3.2.2 Lembaga Amil Zakat Kabupaten/Kota
Untuk Lembaga Amil Zakat kabupaten/kota, harus mencantumkan kata “kabupaten/kota” dalam akte pendiriannya dan mengumpulkan dana zakat di wilayah kabupaten/kota dan mendayagunakan dana zakat untuk wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.
3.2.3 Lembaga Amil Zakat Kecamatan
Untuk Lembaga Amil Zakat kecamatan, harus mencantumkan kata “kecamatan” dalam akte pendiriannya dan mengumpulkan dana zakat di wilayah kecamatan dan mendayagunakan dana zakat untuk wilayah kecamatan yang bersangkutan.
Prosedur mengajukan permohonan pengukuhan Lembaga Amil Zakat di Sulawesi Tengah mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1) Lembaga Amil zakat Propinsi
Pimpinan Lembaga Amil zakat propinsi mengajukan permohonan pengukuhan kepada Gubernur atas usul Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama propinsi dengan melampirkan persyaratan yang telah ditentukan.
2) Lembaga Amil zakat kabupaten/kota
Pimpinan Lembaga Amil zakat kabupaten/kota mengajukan permohonan pengukuhan kepada Bupati/Walikota atas usul Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/kota dengan melampirkan persyaratan yang telah ditentukan
3) Lembaga Amil zakat Kecamatan
Pimpinan Lembaga Amil zakat kecamatan mengajukan permohonan pengukuhan kepada camat atas usul Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan dengan melampirkan persyaratan yang telah ditentukan
Lembaga Amil Zakat yang telah dikukuhkan memiliki kewajiban sebagai berikut :
1) Segera melakukan kegiatan sesuai dengan program kerja yang telah dibuat.
2) Menyusun laporan, termasuk laporan keuangan.
3) Mempublikasikan laporan keuangan yang telah diaudit melalui media massa.
4) Menyerahkan laporan kepada pemerintah.
Lembaga Amil Zakat yang telah dikukuhkan dapat ditinjau kembali, apabila tidak lagi memenuhi persyaratan dan tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan.
Mekanisme peninjauan ulang terhadap pengukuhan Lembaga Amil Zakat dilakukan melalui tahapan pemberian peringatan secara tertulis sampai 3 (tiga) kali dan baru dilakukan pencabutan pengukuhan. Pencabutan pengukuhan Lembaga Amil Zakat dapat menghilangkan hak pembinaan, perlindungan dan pelayanan dari pemerintah, tidak diakuinya bukti setoran zakat yang dikeluarkan sebagai pengurangan pendapatan kena pajak dan tidak dapat melakukan pengumpulan dana zakat.
4. Pengumpulan dan Penyaluran Zakat
Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat mempunyai tugas pokok mengumpulkan dana zakat dari muzakki baik perorangan maupun badan, yang dilakukan langsung oleh bagian pengumpulan atau melalui Unit Pengumpul Zakat.
Badan Amil Zakat dan Lembaga Badan Amil Zakat wajib menerbitkan bukti setoran sebagai tanda terima atas setiap zakat yang diterima. Bukti setoran zakat yang sah tersebut harus mencantumkan hal-hal sebagai berikut :
1) Nama, alamat dan nomor lengkap pengesahan Badan Amil zakat atau nomor lengkap pengukuhan Lembaga Amil zakat;
2) Nomor urut bukti setoran;
3) Nama, alamat muzakki, dan nomor pokok wajib pajak (NPWP) apabila zakat penghasilan yang dibayarkan dikurangi dari penghasilan kena pajak penghasilan;
4) Jumlah zakat atas penghasilan yang disetor dalam angka dan huruf serta dicantumkan tahun haul;
5) Tanda tangan, nama, jabatan petugas Badan Amil zakat atau Lembaga Amil zakat, tanggal penerimaan dan stempel Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat;
Bukti setoran zakat yang sah tersebut dibuat dalam rangkap 3 (tiga), dengan rincian sebagai berikut :
1) Lembar 1 (asli), diberikan kepada muzakki yang dapat digunakan sebagai bukti pengurangan penghasilan kena pajak Pajak penghasilan;
2) Lembar 2, diberikan kepada Badan Amil zakat atau lembaga Amil Zakat sebagai arsip.
3) Lembar 3, digunakan sebagai arsip Bank penerima, apabila zakat disetor melalui bank.
Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat dapat bekerjasama dengan bank di wilayahnya masing-masing dalam mengumpulkan dana zakat dari harta muzakki yang disimpan di bank atas persetujuan muzakki. Kerjasama dimaksud, dapat dilakukan dengan semua bank, baik bank pemerintah maupun bank swasta.
Untuk terlaksananya kerjasama tersebut perlu dilakukan kesepakatan bersama dan disosialisasikan kepada masyarakat secara luas, melalui media cetak dan pebuatan leaflet yang disebarkan melalui petugas bank.
Dalam rangka mengoptimalkan pengumpulan dana zakat, maka Badan Amil zakat atau Lembaga Amil Zakat dapat menyebarkan programnya melalui iklan dengan mencantumkan nomor rekening pembayaran dana zakat dan lain-lain. Karena itu, Muzakki dapat membayar zakatnya melalui nomor rekening Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat.
Badan Amil Zakat atau Lembaga Badan Amil Zakat wajib menyalurkan zakat yang telah dikumpulkan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
Penyaluran zakat kepada mustahiq harus bersifat hibah (bantuan) dan harus memperhatikan skala prioritas kebutuhan mustahiq di wilayahnya masing-masing. Penyaluran dana zakat dapat bersifat bantuan sesaat, yaitu membantu mustahiq dalam menyelesaikan atau mengurangi masalah yang sangat mendesak/darurat. Penyaluran dana zakat dapat bersifat bantuan pemberdayaan, yaitu membantu mustahiq untuk meningkatkan kesejahteraannya, baik secara perorangan maupun secara kelompok melalui program atau kegiatan yang berkesinambungan. Selain itu, Penyaluran dana zakat harus memperioritaskan kebutuhan mustahiq di wilayahnya masing-masing, kecuali penyaluran dana zakat yang dilakukan oleh Badan Amil Zakat Nasional dapat diberikan kepada mustahiq di seluruh Indonesia. Lain halnya Dana non zakat seperti infaq, shadaqah, hibah, waris, wasiat, dan kafarat diutamakan untuk usaha produktif. Dalam hal tertentu, Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat dapat menyalurkan dana zakat ke luar wilayah kerjanya, dengan terlebih dahulu mengadakan kordinasi dengan Badan Amil Zakat yang berada di atasnya atau yang berada di wilayah tersebut.
5. Pengawasan, Pelaporan dan Anggaran
5.1 Pengawasan
Pengawasan terhadap kinerja Badan Amil Zakat dilakukan secara internal oleh Komisi Pengawas Badan Amil Zakat di semua tingkatan, dan secara external oleh Pemerintah dan masyarat. Ruang Lingkup pengawasan meliputi pengawasan terha-dap keungan, kinerja Badan Amil Zakat dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan serta prinsip-prinsip syari’ah.
Dalam hal Komisi Pengawas melakukan pemeriksaan keuangan Badan Amil Zakat dapat meminta bantuan akuntan publik.
Kegiatan pengawasan dilakukan terhadap rangcangan program kerja, pelaksanaan program kerja pada tahun berjalan dan setelah tahun buku berakhir. Hasil pengawasan disampaikan kepada Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan untuk dibahas tindak lanjutnya, sebagai bahan pembinaan atau sebagai bahan penjatuhan sanksi apabila terjadi pelanggaran.
Masyarakat secara pribadi atau melalui institusi dapat berperan aktif dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat.
Dalam hal ditemukan pelanggaran maka segera dilakukan tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5.2 Pelporan
Badan Amil Zakat memberikan laporan tahunan pelaksanaan tugasnya kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan tingkatannya.
Setiap kepala Bidang, Bidang, Seksi dan Urusan sesuai dengan tingkatannya menyampaikan laporan kepada Ketua Badan Pelaksana Badan Amil Zakat melalui sekretaris, dan sekretaris menampung laporan-laporan tersebut sebagai bahan menyusun laporan tahunan ketua Badan Pelaksana Badan Amil Zakat
Materi laporan meliputi semua kegiatan yang telah dilakukan seperti berbagai kebijaksanaan yang telah diputuskan dan dilaksanakan serta laporan tentang pengumpulan dan pendayagunaan dana Zakat
5.3 Anggran
Anggaran Kegiatan Badan Amil Zakat se Sulawesi Tengah bersumber dari dana APBD I, APBD II dan dana zakat bagian amil. Penggunaan anggaran tersebut harus berpedoman kepada ketentuan dan peraturan yang berlaku.
D. Sarana dan Prasarana dalam Pelaksanaan Pengelolaan Zakat
Sebelum penulis menguraikan sarana dan prasarana dalam pengelolaan zakat, maka perlu diungkapkan lebih dahulu bahwa sarana atau pasilitas amat penting untuk mengevektifkan suatu aturan tertentu. Ruang lingkup sarana dimaksud, terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Misalnya, bila tidak ada kertas dan karbon yang cukup serta mesin tik yang cukup baik, bagaimana petugas dapat membuat berita acara mengenai penerimaan dan pengeluaran zakat. Kalau peralatan dimaksud, sudah ada, maka faktor-faktor pemeliharaannya juga memegang peran yang sangat penting. Memang sering terjadi, bahwa suatu peraturan sudah difungsikan padahal fasilitasnya belum tersedia lengkap. Peraturan yang semula bertujuan untuk memperlancar proses, malahan mengakibatkan terjadinya kemacetan. Mungkin ada baiknya bahwa pada waktu hendak menerapkan suatu peraturan secara resmi ataupun memberikan tugas kepada petugas, dipikirkan mengenai fasilitas-fasilitas yang berpatokan kepada: (1) Apa yang sudah ada dipelihara terus agar setiap saat berfungsi; (2) apa yang belum ada, perlu diadakan dengan memperhitungkan jangka waktu pengadaannya; (3) apa yang kurang perlu dilengkapi; (4) apa yang telah rusak diperbaiki atau diganti; (5) apa yang macet, dilancarkan; dan (6) apa yang telah mundur, ditingkatkan.
Selain itu, perlu diungkapkan bahwa di dalam teori-teori ilmu hukum, dapat dibedakan antara tiga macam hal mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal itu, diungkapkan sebagai berikut.
1) Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan
2) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya, kaidah dimaksud dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan), atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat;
3) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi
Kalau dikaji secara mendalam agar hukum itu berfungsi maka setiap kaidah hukum harus memenuhi ke tiga macam unsur kaidah di atas, sebab: (1) bila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, maka ada kemungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati; (2) Kalau hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan, maka kaidah itu menjadi aturan pemaksa; dan (3) apabila hanya berlaku secara filosofis, maka kemungkinannya kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).
Berdasarkan penjelasan di atas, tampak betapa rumitnya persoalan efektivitas hukum di Indonesia. Sebab, suatu kaidah hukum atau peraturan tertulis benar-benar berfungsi, senantiasa dapat dikembalikan pada empat faktor, yaitu: (1) kaidah hukum atau peraturan itu sendiri; (2) petugas yang menegakkan atau yang menerapkan hukum; (3) sarana/ fasilitas yang diharapkan akan dapat mendukung pelaksanaan kaidah hukum; dan (4) warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut.
Sarana dan prasarana dalam pengelolaan zakat, dimaksudkan segala sesuatu yang berkaitan kebutuhan fisik dalam pelaksanaan tugas Badan Amil Zakat, baik pembina, komisi pengawas, maupun badan pelaksana zakat.
E. Kesadaran Masyarakat.
Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat. Warga masyarakat dimaksud, adalah kesadarannya untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan, derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Sebagai contoh dapat diungkapkan sebagai berikut.
Bagi orang Islam Indonesia termasuk warga masyarakat Islam yang mendiami Kota Palu tahu dan paham bahwa UU No. 38 Tahun 1999 mengenai pengelolaan zakat. Undang-undang dimaksud, lahir dari adanya ajaran Islam yang mewajibkan untuk berzakat bagi setiap muslim yang mempunyai penghasilan profesi sebagai pegawai negeri baik sebagai pejabat struktural maupun sebagai pejabat fungsional. Namun demikian, masih ditemukan pegawai negeri sipil dimaksud, mengeluarkan zakatnya tanpa melembaga. Artinya orang Islam dimaksud, memberikan zakatnya kepada orang yang dianggap berhak menerimanya. Pada hal baik peraturan perundang-undangan dimaksud maupun ajaran Islam (Alqur’an Surah At-Taubah: 60) menghendaki bagi orang Islam yang mengeluarkan zakat harus melalui lembaga amil zakat. Sebab, salah satu fungsi sosial zakat adalah pemenuhan hak bagi delapan golongan yang berhak menerima zakat dalam mewujukan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Berdasarkan contoh di atas, persoalannya adalah: (1) apabila peraturannya baik, sedangkan warga masyarakat tidak mematuhinya, faktor apakah yang menyebabkannya ?; (2) apabila peraturan baik serta petugas cukup berwibawa, fasilitas cukup, mengapa masih ada yang tidak mematuhi peraturan perundang-undangan ?.
Selain masalah-masalah di atas, masih ada persoalan lain, yaitu adanya suatu asumsi yang menyatakan bahwa semakin besar peran sarana pengendalian sosial lainnya (agama, dan adat-istiadat), semakin kecil peran hukum. Karena itu, hukum tidak dapat dipaksakan keberlakuannya di dalam segala hal, karenanya seyogianya kalau masih ada sarana lain yang ampuh maka hendaknya hukum dipergunakan pada tingkat yang terakhir bila sarana lainnya tidak mampu lagi untuk mengatasi masalah. Namun, untuk mengakhiri pembahasan ini, perlu diungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan kesadaran masyarakat, yaitu: (1) penyuluhan hukum yang teratur; (2) pemberian teladan yang baik dari petugas di dalam hal kepatuhan terhadap hukum dan respek terhadap hukum; (3) pelembagaan yang terencana dan terarah. Hal itu diuraikan sebagai berikut.
Pada umumnya orang berpendapat bahwa kesadaran warga masyarakat terhadap hukum yang tinggi mengakibatkan para warga masyarakat mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya, apabila kesadaran warga masyarakat terhadap hukum rendah maka derajat kepatuhannya juga rendah. Pernyataan yang demikian, berkaitan dengan berfungsinya hukum dalam masyarakat atau efektivitas dari ketentuan-ketentuan hukum di dalam pelaksana-annya. Perkataan yang lain adalah kesadaran masyarakat terhadap hukum mempunyai beberapa masalah di antaranya: apakah ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak di dalam masyarakat. Misalnya: masyarakat Islam yang berprofesi pegawai negeri sipil yang mendiami Kabupaten Toli-toli pada tahun 90-an pada umumnya tidak mengeluarkan zakat profesinya melalui . lembaga Amil Zakat. Akibatnya adalah tidak ada zakat profesi yang dikumpul oleh Badan Amil Zakat. Lain halnya saat ini, yaitu beberapa istansi melakukan pemotongan gaji sebagai zakat profesi.
Masalahnya adalah apakah kesadaran masyarakat tentang hukum sesederhana itu, sebagaimana yang diungkapkan di atas ? kiranya tidaklah demikian. Sebab, berfungsinya hukum amat tergantung pada efektivitas menanamkan hukum tadi, reaksi masyarakat dan jangka waktu untuk menanamkan hukum dimaksud. Misalnya, ketika Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat baru diundangkan, maka pertama-tama yang dilakukan adalah pengumuman melalui macam-macam alat mass media. Kemudian, perlu diambil jangka waktu tertentu untuk ditelaah reaksi dari masyarakat. Apabila jangka waktu tersebut telah lampau, maka barulah diambil tindakan yang tegas oleh setiap kepala kantor untuk memotong gaji yang berada diwilayah kepemimpinannya. Bila cara tersebut ditempuh, maka warga masyarakat akan lebih menaruh respon terhadap hukum termasuk penegak dan pelaksanaannya.4)
Dengan demikian, maka masalah kesadaran hukum warga masyarakat sebenarnya menyangkut faktor-faktor apakah suatu ketentuan hukum tertentu diketahui, dipahami, ditaati dan dihargai?. Apabila warga masyarakat hanya mengetahui adanya suatu ketentuan hukum, maka tarap kesadaran hukumnya lebih rendah daripada mereka yang memahaminya, dan seterusnya. Hal itulah yang disebut “legal consciousness” atau “knowledge and opinion about law” Hal-hal yang berkaitan kesadaran hukum akan diuraikan sebagai berikut.
1. Pengetahuan hukum
Bila suatu peraturan perundang-undangan telah diundangkan dan diterbitkan menurut prosedur yang sah dan resmi, maka secara yuridis peraturan perundang-undangan itu berlaku. Kemudian timbul asumsi bahwa setiap warga masyarakat dianggap mengetahui adanya Undang-undang. Misalnya Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Namun, asumsi tersebut tidaklah demikian kenyataan-nya.
Pengetahuan hukum masyarakat akan dapat diketahui bila diajukan seperangkat pertanyaan mengenai pengetahuan hukum tertentu. Pertanyaan dimaksud, dijawab oleh masya-rakat itu dengan benar sehingga kita dapat mengatakan bahwa masyarakat itu sudah mempunyai pengetahuan hukum yang benar. Sebaliknya, bila pertanyaan-pertanyaan dimaksud, tidak dijawab dengan benar maka dapat dikatakan bahwa masya-rakat itu belum atau kurang mempunyai pengetahuan hukum.
2. Pemahaman hukum
Pengetahuan hukum yang dimiliki oleh masyarakat belum cukup sehingga diperlukan pemahaman hukum yang berlaku. Pemahaman dimaksud, diharapkan memahami tujuan per-aturan perundang-undangan serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan perundang-undfangan dimaksud.5
Kalau ditelaah Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan zakat, maka tidak semua kaidah yang tercantum di dalamnya dapat dimengerti, apalagi oleh masyarakat luas. Misalnya: Pasal 11 (2) harta yang dikenai zakat adalah:
a. Emas, perak dan uang;
b. Perdagangan dan perusahaan;
c. Hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan;
d. Hasil pertambangan;
e. Hasil peternakan;
f. Hasil pendapatan dan jasa;
g. Rikaz.
Muatan pasal 11 (2) tersebut, sebagian besar warga masyarakat belum mengetahui sepenuhnya sehingga amat sulit menentukan kesadarannya untuk membayar zakat harta. Selain itu, lembaga amil zakat kurang transparan dalam hal penerimaan dan pemanfaatan zakat.
Pemahaman hukum masyarakat akan dapat diketahui bila diajukan seperangkat pertanyaan mengenai pemahaman hukum tertentu. Pertanyaan dimaksud, dijawab oleh masyarakat itu dengan benar sehingga kita dapat mengatakan bahwa masyarakat itu sudah mempunyai pemahaman hukum yang benar. Sebaliknya, bila pertanyaan-pertanyaan dimaksud, tidak dijawab dengan benar maka dapat dikatakan bahwa masyarakat itu belum memahami hukum.
3. Pentaatan hukum
Seorang warga masyarakat mentaati hukum karena pelbagai sebab. Sebab-sebab dimaksud, dapat dicontohkan sebagai berikut.
1) Takut karena sanksi negatif, apabila hukum dilanggar;
2) Untuk menjaga hubungan baik dengan penguasa;
3) Untuk menjaga hubungan baik dengan rekan-rekan sesamanya;
4) Karena hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang dianut;
5) Kepentingannya terjamin.
Secara teoretis faktor ke empat merupakan hal yang paling baik. Hal itu disebabkan, oleh karena pada faktor pertama, kedua dan ketiga, penerapan hukum senantiasa harus diawasi oleh petugas-petugas tertentu, agar supaya hukum itu benar-benar ditaati di dalam kenyataannya. Dalam hal ini, maka seyogyanya ada suatu penelitian yang mendalam mengenai derajat ketaatan terhadap Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999.
4. Pengharapan terhadap Hukum
Suatu norma hukum akan dihargai oleh warga masyarakat apabila dia telah mengetahui, memahami dan mentaatinya. Artinya, dia benar-benar dapat merasakan, bahwa hukum tersebut menghasilkan ketertiban serta ketenteraman dalam dirinya. Hukum tidak hanya berkaitan dengan segi lahiriyah dari manusia akan tetapi juga dari segi batiniyah.
Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan zakat sebenarnya berkaitan dengan rukun Islam yang dapat menenteramkan batin bagi yang melaksanakannya dan bagi yang menerima zakat dapat membantu memenuhi kebutuhannya yang terdesak. Karena itu, perlu diungkapkan bahwa stataus hukum zakat merupakan ibadah wajib yang termasuk rukun Islam yang ke tiga. Perintah zakat yang terdapat dalam Alqur’an sebanyak 30 ayat atau tempat dan 28 kali perintah itu bergandengan perintah shalat.6
Zakat sebagai ibadah wajib kepada Allah, ia akan mencerminkan hubungan manusia sebagai hamba, dan Tuhan sebagai pencipta yang menetapkan kewajiban zakat terhadap orang yang memiliki harta kekayaan. Di sini akan mencerminkan nilai-nilai keislaman bagi orang yang memiliki kewajiban untuk menunaikan zakat, sekaligus mencerminkan ketakwa-annya kepada Tuhan. Zakat merupakan salah satu tolok ukur dalam mengetahui tingkat ketakwaan seseorang. Di samping itu, ia juga berfungsi kemasyarakatan.
Menurut H. Mohammad Daud Ali, fungsi kemasyarakatan yang terdapat dalam zakat, ialah (1). Mengangkat derajat fakir – miskin dan membantunya dari kesulitan hidup serta penderitaan, (2). Membantu memecahkan masalah yang dihadapi oleh para gharimin, Ibnus sabil dan mustahik lainnya, (3). Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama ummat Islam dan manusia pada umumnya, (4). Menghilangkan sifat kikir dan sifat loba bagi pemilik harta, (5). Membersihkan diri dari sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial) dalam arti orang-orang miskin, (6). Menjembatani jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin dalam suatu masyarakat, (7). Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang, terutama pada mereka yang memiliki harta kekayaan, (8). Mendidik manusia untuk disiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan hak orang lain yang ada padanya, (9). Sarana pemerataan pendapatan (rezeki) untuk mewujudkan keadilan sosial.7
Fungsi zakat yang telah diuraikan di atas, baik fungsinya sebagai ibadah wajib kepada Tuhan, maupun fungsinya dalam masyarakat, maka dapat diketahui bahwa hikmah ditetapkan-nya zakat sebagai rukun Islam, mengandung hikmah: hikmah bagi pemberi, hikmah bagi penerima, hikmah pemberi dan penerima, dan hikmah bagi harta itu sendiri seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya.
Peningkatan kesadaran hukum seyogyanya dilakukan melalui penrangan dan penyuluhan hukum yang teratur atas dasar perencanaan yang mantap. Penyuluhan hukum bertujuan agar warga masyarakat mengetahui dan memahami hukum-hukum tertentu, misalnya: peraturan perundang-undangan tertentu mengenai zakat, pajak, dan seterusnya. Peraturan dimaksud, dijelaskan melalui penerangan dan penyuluhan hukum, mungkin hanya menjelaskan pasal-pasal tertentu dari suatu peraturan perundang-undangan, agar masyarakat merasakan manfaatnya, pene-rangan dan penyuluhan hukum harus disesuaikan dengan masalah-masalah hukum yang ada dalam masyarakat pada suatu waktu yang yang menjadi sasaran penyuluhan hukum.8
Penyuluhan hukum merupakan tahap selanjutnya dari penerangan hukum. Tujuan utama dari penerangan dan penyuluhan hukum adalah agar warga masyarakat memahami hukum-hukum tertentu, sesuai masalah-masalah hukum yang sedang dihadapinya pada suatu saat. Penyuluhan hukum harus berisikan hak dan kewajiban di bidang-bidang tertentu, serta manfaatnya bila hukum dimaksud ditaati.
Penerangan dan penyuluhan hukum, menjadi tugas dari kalangan hukum pada umumnya dan khususnya yang mungkin secara langsung berhubungan dengan warga masyarakat adalah petugas hukum. Yang disebutkan terakhir ini harus diberikan pendidikan khusus, supaya mampu memberikan penerangan hukum dan penyuluhan hukum. Jangan sampai terjadi bahwa justeru petugas-petugas itulah yang memanfaatkan hukum untuk kepentingan pribadi, dengan jalan menakut-nakuti warga masyarakat yang awam terhadap hukum.
F. Kesimpulan
Manajemen pengelolaan zakat / infaq dan shadaqah dilihat dari aspek efektifitas Peraturan perundang-undangan adalah mencakup: (1) Kaidah Hukum Zakat; (2) Penegak Hukum Zakat / infaq dan shadaqah ; (3) Sarana dan prasarana BAZ dan LAZ; dan (4) Kesadaran Masyarakat untuk mengeluarkan zakat berdasarkan peraturan perundang-undangan












KEPUSTAKAAN
Al-Qur’an al-Karim
Abdoerrauf. Alqur’an dan Ilmu Hukum. Jakarta: Bulan Bintang, 1970
Ahmad al-Buny, Djamaluddin, Problematika harta dan zakat, (Surabaya:Bina Ilmu, 1984),
Ahmad, al-Syekh Khalil, Bazs al-Majhud fi halli Aby Bawud, (Beirut: Dar al-Kitab al ‘Ilmiyah, tt.), Juz 8.
Ali, Muhammad Daud, Sistem Ekonomi islam Zakat, dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1988).
Ali, Zainuddin, Penerapan Zakat dalam Perubahan sosial di Indonesia, (Jakarta: PANJIMAS, No. 632, 1989).
----------------. Hukum Zakat dan Peraturan Perundang-Undangannya di Indonesia. Palu: Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, 2002
Al-Maududi, Abu’a’la, Dasar-dasar Ekonomi Islam, Alih bahasa Abdullah Suhaili, (Bandung: Al-Ma’arif, 1980).
Al-Qardawy, Yusuf, Fiqh al-Zakat, (Beirut:Dar al-Irsyad, 1969).
Al-Qurasyi, Baqir Syarif, An-Nizam al-Siyasi fi al-Islam (al-Najf: al-Syarf, al-Najf, 1973).
Anderson, Norman, J.N.D. Law Reform in the Muslim World. London: Athlone University Press, 1976.
Anshari, Endang Saifuddin. Islam, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu, 1987
An-nawawi, Al-Majmu’, (Mesri: Baby al-Halaby, tt.), Juz 5.
Azhar Basyir, Ahmad. Hukum Adat Bagi Ummat Islam. Yogya-karta: Nurcahaya, 1983.
Azis. M. Amin, Memasayarakatkan zakat dan pajak. (Jakarta: Makala, MUI., 1990).
Departemen Agama RI, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat dan Keputusan Menteri Agama Nomor 581 tTahun 1999 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, (Jakarta: Dep. Agama RI, Direktorat Jenderal Bimibingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji, Tahun 2000
Brotodiharjo, F. Santoso, Undang-udang Perpajakan Baru, (Semarang : Aneka Ilmu, 1984).
Bukhary, Imam Shahi Bukhary, (Qahirah: Masyahid al-Husainy. Tt.) juz 1&2.
Burton, John. The Sources of Islamic Law. Edinburgh: Edin-burgh University Press, 1990.
Esposito, John L. Ancaman Islam Mitos atau Realitas ?, Terjemahan: Alwiyah Abdurrahman dan MISSI. Bandung: Penerbit Mizan, 1994.
Ghazali. Muhammad Syukri, dkk., Pedoman Zakat, (Jakarta: Karya Maju, 1989).
Harris, J.W., Legal Philosophies, London: Butterworths, 1980
Hart, H.L.A. The Consept of law. London: Oxford Univer-sity Press, 1972.
Hashim Kamali, Mohammad. Principles of Islamic Juris-prudence. Cambridge: Islamic Society, 1991
Hazairin. Hendak Kemana Hukum Islam. Jakarta: Tinta-mas, 1960.
----------. Pergolakan Penyesuaian Adat kepada Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1976
Husen, Ibrahim, K.H. LML., Kedudukan Pajak Menurut Pandangan Islam, (Jakarta : Makalah, MUI., 1990).
Ismail syahhadatih, Syauqi, Penerepan Zakat Dalam Dunia Modern. Terjemahan, (Jkarta : Pustaka Bian, 1986).
Iqbal, Muhammad. The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Lahore: M. Ashraf, 1951.
Lembaran Penerapan Pajak, Seri KUP. I& Seri pph. 1, Departemen Ri., tt.
Mubiyarto, Sistem Moral Ekonomi Indonesia, (Jakarat : LP3ES., 1988).
Muslim, Imam, Shahih Muslim, (Mesir: Mustafa Baby al-Halaby, 1955).
Qasim, Yusuf, Al-Khulasat al-Ahkam fi al-Zakat, (Qahirah : Nahzah al ‘Arabiyah, 1981)
Sabiq, al-Sayyid, Fiqh al-Sunnah, (Kuwait : Dar al-Bayan, tt.), Juz 3.
Saefuddin, A. Muflih, Ekonomi dan Masyarakat Dalam Prespektif Islam, (Jakarta : Rajawali, 1983).
Sumardi, Mulyanto (ed.), Penelitian Agama, Masalaha dan Pemikiran, (Jakarta : Sinar Harapan, 1982).
Tirtosudiro, Achmad, Zakat dan Pajak, (Jakarta : Makalah, MUI., 1990).
Usman. B., Pajak-pajak Indonesia, (tanpa tempat penerbit : Yayasan Bina {ajak, 1980).
Yayasan Penyelenggara Penterjemah, Dep. Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahannya, Proyek pengadaan Kitab suci Al-Qur’an, (Jakarta, 1984/1985).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar