Minggu, 31 Mei 2009

INFAQ DAN SHADAQAH BERMASALAH

Pembuatan Hukum Infaq dan shadaqah yang
potensial menimbulkan sengketa
Oleh: Zainuddin Ali

Pendahuluan
Bila membicarakan penggalian potensi zakat, infaq dan shadaqah dalam masyarakat Indonesia, maka dapat diibaratkan "jauh panggang dari api". Sebab, pada setiap tahun lembaga Amil zakat, infaq dan shadaqah se Indonesia baru bisa menggali ZIS Rp 600 miliar, padahal potensi ZIS bila dihitung dapat tekompul dana sosial sekitar Rp 7,5 triliun; Sedangkan Jawa Barat potensi zakatnya kalau mau jujur minimal Rp 300 miliar atau dua kali lipat pendapatan asli daerah (PAD) Kota Bandung. Dari Rp 600 miliar itu sebagian besar dikelola oleh enam LAZ, yaitu: Rumah Zakat Indonesia (RZI), Dompet Duafa, Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhiid (DPU DT), Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU), Baitul Maal Muamalat (BMM), Yayasan Dana Sosial Al−Falah (YDSF) Surabaya. Dana Zakat, infaq, dan shadaqah (selanjutnya disebut ZIS) yang dikelola lembaga zakat termasuk RZI ternyata sebagian besar berasal dari lembaga donor luar negeri seperti diakui Direktur RZI, Virda Dimas. Misalnya, dana ZIS di RZI sebesar Rp 63 miliar lebih 63 persennya dari umat Islam Indonesia di luar negeri maupun lembaga donor internasional melebihi jumlah ZIS Muslimin dalam negeri. 1
Dalam hukum adat dikenal suatu teori yang mengungkapkan bahwa di mana ada hukum di situ ada masyarakat atau di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Berdasarkan teori hukum dimaksud, dapat diartikan bahwa setiap proses pembentukan hukum harus melibatkan semua elemen dalam suatu masyarakat untuk menghindari terjadinya produk hukum yang menimbulkan silang sengketa dalam masyarakat sebagai pengguna hukum; Sebaliknya, suatu produk hukum yang tidak melibatkan semua elemen dalam masyarakat akan rawan terjadinya konflik, khususnya berkaitan dengan elemen ulama kalau produk hukum itu menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan ajaran Islam. Pembuatan hukum infaq dan shadaqah yang potensial menimbulkan sengketa akan diuraikan beberapa peristiwa sebagai beikut.
1. Pembuatan Hukum Zakat, Infaq, dan Shadaqah di Lombok Timur3
Keputusan pemerintah di Lombok Timur untuk memotong 2,5 persen gaji dari pegawai negeri sipil (selanjutnya disebut PNS) yang dihajatkan untuk zakat, apalagi memerintahkan berzakat atau menerima zakat, semestinya tidak dilakukan secara emosional. Keputusan tersebut harus dipertimbangkan secara matang, apakah yang diinstruksikan tersebut betul-betul berzakat, bukan infaq atau sedekah.
Kalau gaji pada setiap PNS 2,5 persen yang dipotong tersebut dipolitisasi sebagai wujud zakat penghasilan. Padahal pemotongan dimaksud, sesungguhnya infaq dan sedekah, sehingga PNS akan sangat terpaksa mengikhlaskan pemotongan itu.4 Namun, pihak Pusat Informasi dan Konsultasi Zakat Nahdlatul Wathan cenderung melihat pemotongan 2,5 persen gaji PNS di Lombok Timur yang dilakukan oleh Bupati H. Moh. Ali Bin Dachlan sebagai infaq dan sedekah, bukan zakat. Masalahnya, zakat sendiri mempunyai pertimbangan matang dan perhitungan dengan teknis tersendiri, tetapi pihak Pusat Informasi dan Konsultasi Zakat Nahdlatul Wathan juga cenderung memahami posisi Ali Dachlan sebagai pelaksana mandat dari wakil rakyat untuk melaksanakan perda soal zakat tersebut, yang karenanya Bupati tidak melayani diskusi soal itu. Masalah yang lain adalah pembuatan perda Zakat itu tidak pernah diajak dan dikonsultasikan dengan pihak Pusat Informasi dan Konsultasi Zakat Nahdlatul Wathan. Tiba-tiba Perda dimaksud, DPRD bersama-sama dengan eksekutif mengesahkan perda itu.
Pengatasnamaan zakat sebagai alasan utama pemotongan gaji dari PNS tersebut, bagi Pusat Informasi dan Konsultasi Zakat Nahdlatul Wathan, tidak seorang pun PNS muslim di Lombok Timur yang akan menolaknya, walau ada kecenderungan sebagian besar PNS tidak akan ikhlas menerima pemotongan itu. Namun, jika pemotongan dilakukan atas nama infaq dan sedekah, maka terlalu banyak alasan bagi PNS untuk menolaknya. Tidak semua PNS, menurut fakta yang ada di Lombok Timur tersebut memiliki kewajiban untuk mengeluarkan infaq atau sedekah, tetapi sebagian besar PNS gajinya minus dan mungkin termasuk dalam komunitas penerima infaq atau sedekah.
Sementara itu, menurut pemantauan Bali Post di beberapa kecamatan, kalangan PNS khususnya guru menolak pemotongan 2,5 persen dari gaji PNS. Namun, tidak mampu berbuat karena berhadapan dengan pihak pemerintah. Hasil pemotongan gaji dimaksud, hingga 10 November 2003 lalu baru terkumpul Rp 10,2 juta lebih di Bank NTB dengan rekening khusus. Salah seorang seorang PNS mengungkapkan bahwa Jangankan Rp 25.000 dipotong dari nilai gaji Rp 1 juta, pemotongan gaji Rp 500 pun menjadi pertanyaan panjang kalangan guru.5 Selain itu, menurut fakta yang ada, lebih dari 70 persen guru di Lombok Timur saat ini menerima gaji sangat terbatas bahkan minus.
Para guru berniat menggelar aksi demo tetapi niat itu ditahan karena bulan puasa. Demikian yang diungkapkan oleh salah seorang Camat. Selain itu, para guru juga mendengar isu bahwa Perda No. 9 tahun 2002 soal zakat dimaksud belum mendapat pengesahan dari Mendagri.6 Bupati Ali Dachlan tidak mau melayani kompromi dan tak memberikan waktu untuk mendiskusikan persoalan ini. 'Selain itu, ia mengungkapkan bahwa saya tidak bertanggung jawab kepada satu dua orang yang tidak setuju dengan pelaksanaan perda tersebut, tetapi akan saya pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.7
Dugaan Korupsi di Departemen Agama Kota Madiun8
Kejaksaan melakukan pemeriksaan tiga orang saksi Soal Dugaan Korupsi di Departemen Agama Kota Madiun. Hal itu berkaitan proses penyelidikan soal pemotongan rapelan PNS baru di lingkup Depertemen Agama (Depag) Kota Madiun. Tim penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) setempat kembali memanggil tiga orang saksi korban untuk dimintai keterangannya. Hasilnya, semua saksi mengaku rapelannya dipotong 2,5 bulan.
Kepala Kejari (Kajari) Madiun M. Ali Sabtu dikonfirmasi melalui Kepala Seksi Intelijen Abdul Azis mengatakan, pemanggilan dan pemeriksaan terhadap saksi korban ini dilakukan untuk melengkapi temuan data. "Saksi mengaku rapelannya dipotong. Katanya untuk infaq. Tapi, masak infaq kok ditentukan sebesar dua kali setengah gaji," kata Azis. Penyidik mengaku mendapat informasi ketidakberesan di balik pemotongan rapelan PNS baru Depag Kota ini. Apalagi, dasar untuk mengeluarkan laporan itu sudah carut marut. Misalnya, SK yang diterima 52 PNS baru di Depag Kota tertanggal 31 Maret. Tapi surat tugas mereka tertanggal 2 Januari. Padahal, dasarnya SK pusat tertanggal 31 Maret. "Padahal surat itu yang dijadikan dasar menguculkan rapelan," jelas Azis. Hingga kemarin, tim penyidik kejaksaan telah memanggil 15 orang saksi korban. Hari ini, rencananya penyidik kembali mendatangkan tiga orang saksi. Menyoal status Choirudin Mustofa, Azis menegaskan, sejauh ini, masih dihadirkan sebagai saksi. Pihaknya belum bersedia memprediksi, bagaimana nasib mantan Kakandepag Kota itu dalam kasus tersebut. "Tunggu dan ikuti saja. Kan penyidik terus memeriksa saksi. Kasus ini juga jalan terus," kilah Azis. Sebelumnya, penyidik telah memanggil dan memeriksa mantan Kakandepag Kota Choirudin. Di depan penyidik, pejabat Depag yang kini bertugas di Banyuwangi itu bersikukuh, pemotongan itu dilakukan berdasar kesepakatan dari CPNSD. Tujuannya untuk infaq. Dari 52 orang CPNSD, 26 ditempatkan di Kantor Depag, sisanya ditugaskan di MAN, MTSN, dan MI. (ace)
a. Departemen Agama Bayuangi Kembalikan Uang PNS1
Tiga orang anggota komisi A DPRD Banyuangi (Ruliyono, Syarifudin dan Tumirin), melakukan sidak (inspeksi mendadak) ke kantor Departemen Agama (Depag) Kabupaten Bayuangi berkaitan dengan dugaan pemungutan sejumlah uang terhadap PNS (pegawai negeri sipil) yang baru saja lulus ujian. Rombongan komisi A, yang dipimpin ketuanya, Ruliyono tersebut langsung disambut oleh Kepala Kendepag Bayuangi (Drs Mansur MM) dan Kabag TU (Drs Mahmudi). Selama beberapa menit, mereka melakukan pertemuan tertutup di ruang kerja Kakandepag, sehingga tak diketahui isi pembicaraan di dalamnya. Usai pertemuan, Ketua Komisi A, Ruliyono mengatakan, sebenarnya niat Kepala Kantor Depag untuk melakukan pemungutan uang kepada para PNS yang baru cukup baik. "Sebab, mereka mengimbau agar para PNS mau berinfaq, tanpa adanya paksaan," Namun, politisi asal Glenmore tersebut menyayangkan, niat itu kurang dibarengi dengan persipan dan penyampaian yang kurang tepat, sehingga rawan terjadinya salah paham oleh beberapa kalangan, termasuk para PNS.
Kesalah pahaman tersebut, kata Ruliyono, pihak Kandepag bisa disorot negatif, karena yang dilakukannya mirip dengan pungutan liar. Sebab, meski tanpa adanya paksaan, karena yang menyampaikan adalah atasan, bawahan bisa saja memahami sebagai sesuatu yang wajib. Selain itu, Ruliyono juga mengatakan, pihak Kandepag, sudah ada komitmen untuk mengembalikan sejumlah uang yang sudah dibayar oleh sebagian PNS. Sementara itu, Kakandepag mengungkapkan bahwa ia akan mengum-pulkan para kepala Madrsah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) untuk menyampaikan bahwa uang infaq yang sebagian sudah di bayarkan, akan dikembalikan. Bahkan sebagian pembayaran infaq PNS sudah ada yang kembalikan.
Uang infaq para PNS yang sudah membayar tersebut, rata-rata berkisar antara Rp 200-300 ribu,2 dan akan dikembalikan semua. Teknis pengembalian uang infaq dimaksud, diundang semua pengawas kabupaten untuk disampaikan masalah pengembalian uang. Selain pengawas Kabupaten diundang pertemuan, juga seluruh PNS yang baru akan dikumpulkan semuanya dan dikembalikan pembayaran uang infaq dimaksud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar