KASUS BLBI KEJAHATAN BERJAMAAH TERBESAR DI INDONESIA
Oleh: Zainuddin Ali, dkk
A. Latar Belakang Masalah
Sudah lebih satu dasawarsa telah berlalu, yaitu sejak terjadinya krisis moneter di Indonesia yang mempengaruhi mata uang dan bursa saham serta menghancurkan, melumpuhkan dan memporak-porandakan sisitem perkonomian di Indonesia, bahkan bebrapa negara di Asia lainnya seperti Korea Selatan, malaysia, Thailand, dan lain-lain. Krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1988. awalnya dari Thailand pada tahun 1997, sehingga dapat diprediksi (predictable) lebih dahulu bahwa Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900-san juta dolar dan persediaan mata uang asing yang besar, tidak seperti di Thailand sebagai Negara Asia Tenggara pertama yang mengalami krisis. Namun justru pada pertengahan tahun 1988, rupiah mulai melemah luar biasa. Pada situasi ini pemerintah yang selama ini memang selalu bergantung pada IMF (Internasional Monetary Fund) meminta bantuan kepada lembaga-lembaga yang dinakhkodai oleh Yahudi ini. Sehingga IMF turun tangan dengan memberikan “bantuan” dana sebesar 23 milyar dolar AS untuk menaikkan nilai rupiah. Namun, bukannya bangkit justru dari hari ke hari bergerak naik signifikan karena ketakutan dari perusahaan-perusahaan untuk melunasi hutangnya dalam dolar AS dan tinggi permintaan (demand) terhadap dolar Amerika. Pemerintah Soeharto gagal menstabilkan rupiah yang banyak didikte oleh IMF, sehingga dapat diumpamakan bagaikan kerbau dicucuk hidung mengucurkan uang Negara (saat orde baru uang negara dengan uang pribadi Soeharto tidak jelas statusnya) yang nota bene uang masyarakat untuk disuntikkan kepada bank yang “collaps” disebut Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Pemerintah Soeharto agaknya tidak peka bahwa Indonesia sudah sedemikian jauh didikte oleh IMF. Padahal segala pinjaman tidaklah gratis. Sebagai kompensasi dari pinjaman tersebut, bangsa Indonesia harus melaksanakan sejumlah program reformasi ekonomi yang diajukan IMF seprti privatisasi, pengurangan subsidi, liberasi keuangna dan reformasi system hukum perbankan.
Program ini dibuat kesepakatan yang disebut Memorandum on Economic and Financial Policies (MEFP) atau lebih terkenal dengan Letter Of Intent (LOI) dengan 1301 antar kesepakatan. Jika IMF menilai Indonesia tidak melaksanakan program sesuai dengan yang dikehendakinya. IMF tak segan memberikan peringatan dan bahkan menangguhkan pemberian pinjaman. Akibatnya adalah dana yang dipinjamkan oleh IMF berfungsi sebagai alat untuk mengendalikan kebijakan ekonomi. Campur tangan IMF tidak hanya dibidang moneter sesuai dengan kompetensi lembaga ini tetapi juga merusak ke sendi-sendi kebijakan ekonomi lain seperti pemilikan asset, privatisasi BUMN,deregulasi dan investasi serta perdagangan luar negeri. Bahkan bidang-bidang lain diluar moneter seperti Jaring Pengaman Sosial (JPS), desentralisasi, hingga reformasi hukum dan lingkungan. Luar biasa sekali peran IMF terhadap kebijakan ekonomi Indonesia pada saat krisis tahun 1997 dan setelah masa krisis. Padahal sebagian besar ahli hukum ekonomi menyadari bahwa IMF ini justru menuai bencana seperti kebijakan pengetatan, likuiditas (tight money policy), penutupan bank-bank swasta nasional sampai kepada BLBI dengan membawa Indonesia terperosok krisis ekonomi yang lebih dalam dan dalam belitan hutang yang akan membebani anak cucu rakyat Indonesia.
Atas perintah dari IMF dana BLBI jadi dikucurkan kepada bank-bank namun dalam kenyataannya bukan menyelamatkan bank-bank dalam mengatasi krisis tetapi berbalik menjadi boomerang bagi pemerintah. Dana BLBI yang dikucurkan kepada bank tidak dapat dikembalikan, bahkan terjadi penyimpangan luar biasa dalam penggunaannya. Laporan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2000 mencatat bahwa ditemukan penyimpangan dana BLBI sebesar 14,4 triliyun rupiah; Sedangkan kerugian Negara seluruhnya diperkirakan mencapai 600 triliyun rupiah.
B. Permasalahan
Dari uraian latar belakang di atas maka persolan yang timbul adalah :
a. Bagaimana proses pengeluaran dana BLBI ?
b. Bagaimana modus operandinya ?
c. Siapakah yang terlibat ?
d. Bagaimana penyelesaian kasus oleh pemerintah ?
C. PEMBAHASAN
1. Proses Pengeluaran dana BLBI
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adlah suatu kebijakan (policy) dari pemerintah saat itu (orde baru) dan Bank Indonesia dimana Bank Indonesia meminjamkan dana kepada sejumlah bank nasional yang sedang mengalami krisis likuiditas atau krisis persedian uang saat terjadi krisis moneter pada tahun 1977 agar bank-bank tersebut dapat membayar uang kepada nasabah masing-masing sehingga dapat dihindari terjadinya kepanikan masyarakat dan bank-bank tidak mampu membayar kepada para nasabahnya. Lewat pengucuran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, pemerintah memberikan jaminan terselubung (blanket guarantee) kepada masyarakat penyimpan dana bahwa uang simpanannya tidak akan hilang jika terjadi sesuatu atas bank tersebut. Lembaga Blanket guarantee ini diperlukan terutama sebelum ada lembaga penjaminan simpanan yang khusus.
Sebagaimana diketahui pada saaat kritis moneter, terjadi aksi rush atau penarikan uang besar-besaran oleh para nasabah membuat simpanan likuiditas bank tersedot. Kondisi ini membuat bank kesulitan untuk menyalurkan atau membayar dana nasabah-nasabahnya sehingga memerlukan pertolongan dari bank Indonesia sebagai bank sentral pemerintah.
Menurut rujukan Bank Indonesia yang tagihnya diserahkan kepada pemerintah melalui BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) pada tanggal 29 januari 1999 dana yang digelontorkan berjumlah 144,5 triliyun namun diperkirakan melibatkan angka yang lebih besar dengan berbagai tambahan kerugian negara yang berlipat.
Tahap pertama jumlah dana yang dikeluarkan berjumlah Rp. 164,54 triliyun. Namun saat terjadi pengalihan hak tagih BLBI dari bank Indonesia kepada pemerintah melalui BPPN pada tanggal 29 Januari 1999 dinyataka sejumlah Rp. 20 Triliyun diperhitungkan menjadi penyertaan modal pemerintah pada PT Bank Ekspor Impor Indonesia (Persero), sehingga jumlah yang dialirkan menjadi sebesar Rp. 144,5 triliyun. Jumlah Rp. 144,5 Triliyun ini terdiri atas surat tentang pemerintah kepada Bank Indonesia pada tanggal 25 September 1998 sebesar Rp. 80 triliyun dan surta utang pemerintah pada tanggal 8 Februari 1999 senilai Rp. 64,536 triliyun. Penerima bantuan dana ini adalah : Syamsul Nursalim (BDNI Rp. 30 triliyun, Soedono Salim ataui Lien Sioe Liong (BCA) Rp. 26,569 triliyun, Hendra Rahardja (BHS) Rp. 3,866 triliyun, Bob Hasan (BUN) Rp. 12,068 triliyun dan Usman Atmajaya (Bank Danamon) Rp. 23,050 triliyun.
Tahap kedua terjadi kurun waktu antara Februari sampai Mei 1999. Hal ini karena Bank Indnesia masih mengeluarkan dan BLBI kepada pihak perbankan setelah pengalihan hak tagih BLBI dari Bank Indonesia ke BPPN. Penyalurannya dalam bentuk fasilitas saldo debet kepada sejumlah bank, baik yang berstatus bank dalam penyekatan (BDP) maupun berstatus non BDP. Alasan Bank Indonesia pengeluaran dana BLBI ini dilakukan karena program penyelamatan bank-bank saat itu belum selesai dilaksanakan. Sementara pemerintah sendiri belum dapat menyediakan dana , karena itulah, kebijakan pengeluaran tambahan BLBI akhirnya dilakuakn oleh Bank Indonesia. Jumlah dana yang disalurkan tahap dua ini adalah sebesar Rp. 14,447 triliyun (menurut perhitungan penyaluran BLBI pada tanggal 29 Januari 199 hingga 14 Mei 1999).
Tahap ketiga adalah pengeluaran BLBI melalui program penjaminan perbankan yang disebut blanket guarante yang diilaksanakan berdasarkan Keppres No. 26 tahun 1998 tentang Jaminan terhadap kewajiban bank umum. Program ini dimaksudkan untuk memulihkan kepercayaan public terhadap perbankan yang saat itu sedang terpuruk, yang ditandai dengan rush pada sejumlah bank. Melalui program ini pemerintah menjamin pembayaran dan nasabah yang terdapat pada sejumlah bank, berapapun jumlahnya. Untuk menyediakan dana dalam rangka program tersebut maka padda tanggal 28 Mei 1999, dikeluarkan Surat Utang Pemerintah (SUP) dengan nomor SU-004/MK/1999 sebesar 53,779 triliyun. Dari jumlah itu lalu ditetapkan bahwa dana yang digunakan untuk program penjaminan adalah sebesar 14,447 triliyun digunakan untuk mengambil alih hak tagih tambahan BLBI dari Bangk Indonesia (sempat terjadi kontroversi karena pemerintah pada awalnya tidak bersedia menerima pengalihan hak tagih tambahan BLBI tersebut dari Bank Indonesia). Sehingga jumlah dana BLBI yang dikeluarkan untuk tahap penjaminan perbuatan ini adalah Rp. 39,322 triliyun.
Setelah tiap tahap pengeluaran BLBI tersebut, pengeluaran dana dari Bank Indonesia ke pihak perbankan diteruskan dengan program rekapitalisasi perbankan. Walaupun dinyatakan terjajah dengan BLBI namun kenyataannya program ini merupakan kelanjutan dari pengeluaran dana BLBI untuk menyelamatkan perbankan disaat kasus-kasus Bank yang terlibat dalam program ini sebagian besar merupakan bank yang sebelumnya telah menerima dana BLBI.
2. Modus Operandi Kasus BLBI
Berbagai bentuk permufakatan jahat dikeluarkan oleh para bankir untuk menguras dana dari masyarakat dan memanfaatkannya untuk memperkuat mosal bank dengan group usahanya. Sebelum kasus BLBI bergulir ramai beberapa modus kecurangan yangdilakukan para bankir memenuntut Kwik Kian Gie antara lain :
a. Para pengusaha bank (banker) berhutang keluar negeri dengan jumlah besar mencapai ratusan juta dolar kemudian dikucurkan pada kelompok perusahaannya. Ketika pembayaran debitur (dari perusahaannya sendiri), para banker ini juga tidak mau membayar utangnya keluar negeri.
b. Para bankir itu lalu meminta para debiturnya untuk membeli hak tagih atas hutang mereka dari kreditur luar negeri dengan harga lebih tinggi dari nilia hutang yang bersedia dibayar bank. Tetapi setelah terbeli, bank tetap membayar seluruh hutang-hutangnya kepada para debitur (yang berubah menjadi kreditur). Akhirnya para bankir ini menguras dana yang ada di banknya dan memindahkannnya ke kantong pribadi dan kelompoknya.
c. Mereka juga memanfaatkan peraturan yang dikeluarkan pemerintah pada Oktober 1998 yang memberikan kemudahan bank untuk menarik dana dari masyarakat, padahal mereka hanya memiliki modal seadanya. Hasil dana dari masyarakat digunakan untuk memberikan kredit pada perusahaannya sendiri sampai melewati batas maksimun pemberian kredit (BMPK), bahkan juga di mark up harganya, kelebihan uangnya kemudian di pindahkan ke bank-bank Luar Negeri.
d. Karena tanpa pelanggaran BMPK untuk menyambungkan usahanya sendiri menyebabkan bank rontok, apalagi kredit yang di berikan kepada usahanya macet. Uang masyarakat yang ada di bank tersangkut di tangan para debitur. Akhirnya menyerukan bank pada situasi krisis. Karena situasi terjadi rush para nasabah mengambil dana mereka di bank, namun para bankir ini menjadi senang karena Pemerintah melalui Bank Indonesia. Menyalurkan dana untuk membantu kesulitan likuiditas perbankan berupa BLBI. Bahkan pemasukan dana dari debitur macet juga akan ditanggung bank Indonesia melalui pemberian fasilitas debet. Para bankir ini berlomba menguras uang negara dengan mempertebal kantong pribadi dan kelompoknya, pada hal uang itu untuk mengatasi krisis.
Modus kecurangan dan kejahatan dari bankir dalam penyimpangan dana BLBI menurut Marwan Batu Bara adalah :
1) Merekayasa laporan keuangan, sehingga membuat kondisi kesehatan bank tidak dapat diketahui, padahal ini penting melalui kelayakan menerima BLBI Bentuk yang jelas adalah rekayasa transaksi unruk menghindari ketentuan menghindari ketentuan mengenai BMPK.
2) Dana BLBI untuk membayar nasabah sesuai ketentuan tetapi untuk kepentingan usaha kelompoknya sendiri . Temuan BPK pada para banker ini dana tersebut yang dikantongi kelompok usahanya senilai Rp. 20,36 triliyun.
3) Dana BLBI digunakan untuk membeli dolar sehingga rupiah makin lemah, jadi untuk jual beli mata uang ditambah lagi Bank Indonesia mengucurkan dolar secara murah ke pasar.
4) Para bankir me-mark up klaim rush nasabah, sehingga dana BLBI yang diterima bank lebih besar daripada dana yang harus dibayarkan kepada nasabah. Kelebihan ini dinikmati oleh para bankir dan oknum pejabat Bank Indonesia dan Pemerintah.
5) Merekayasa laporan keuangan bank dengan mencantumkan hutang dalam bentuk dolar di neraca keuangan, untuk mengklaim adanya pembayaran hutang luar negeri beserta bunganya dalam bentuk dolar. Padahal hutang tersebut diperoleh bank dengan mengirimkan uang tunai (juga dalm bentuk dolar) di bank luar negeri. Artinya hutang tersebut tidak harus dibayar karena hanya sekedar penukar uang jaminan tunai yang disetorkan.
6) Para bankir juga memanfaatkan tingginya suku bunga Bank Indonesia pada saat krisis yang mencapai 50-60 % untuk menarik kembali uang dari luar negeri untuk didepositokan. Investasi ini sangat menguntungkan bankir, karena selain bunganya tinggi, pemerintah menjamin pengembalian uang yang disetorkan berapapun jumlahnya. Sehingga dapat menikmati pembayaran bunga sangat tinggi dari pemerintah yang dananya dikeluarkan setiap tahun dari APBN.
3. Pihak-pihak yang Terlibat dalam Kasus hukum BLBI
a. Presiden Soeharto merupakan pemerintah yang sangat berkuasa dengan mengendalikan seluruh pejabat-pejabat di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, karena pemerintahannya yang telah memerintahkan menteri keuangan dan Gubernur Bank Indonesia.
b. Gubernur Bank Indonesia sangat bertanggung jawab penuh karena dialah yang mengelola keuangan dilembaga tersebut. Bahkan selanjutnya Bank Indonesia melaksanakan kebijakan tersebut tanpa berkoordinasi dengan Departemen Keuangan, akibatnya penyetoran BLBI tidak terkendali. Para mantan menteri keuangan menyatakan bahwa telah terjadi penyelewengan oleh oknum-oknum pejabat Bank Indonesia dengan melakukan tindakan sendiri-sendiri dalam menentukan kebijakan BLBI dengan berlindung dibalik Undang-Undang No. 7 tahun 1992, yang mengatur Kerahasiaan Bank.
c. Gubernur dan oknum-oknum pejabat yang berkompeten mempergunakan tanggung jawabnya sebagai berikut :
1) Fungsi pengawasan tidak dilaksanakan semestinya sehingga penyimpangan terjadi terus secara berkesinambungan dan terjadi tanpa ada teguran dan sanksi tegas.
2) Bank Indonesia tidak melakukan pengamanan dan tidak menegakkan sanksi terhadap pelanggaran BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit), longgarnya ketentuan dalam PUAB (Paar Uang Antar Bank), dan kejanggalan mutasi akuntansi yang disampaikan berupa laporan kepada Bank Indonesia.
3) Diskriminasi dalam penyaluran BLBI kepada bank-bank tertentu yang kepemilikan sahamnya mempunyai keterkaitan dengan BI.
4) Menerapkan kebijakan system pelunasan utang luar negeri (trade finance) yang tidak menjamin keamanan pembayarannya.
5) Menyetujui pemilik saham bank-bank tertentu mengolahkan sahamnya dengan melanggar hukum (dibawah tangan).
6) Membiarkan bank-bank menyelesaikan kewajiban yang jatuh tempo melalui mekanisme kliring.
4. Para Pelaku Kasus Hukum BLBI
a. Keterlibatan oknum pejabat Bank IndonesiaI dalam kasus BLBI dan korupsi dan terbuka dengan terbongkarnya penyimpangan dalam penggunaan dana YPPI (yayasan pengembangan Perbankan ndonesia) milik Bank Indonesia yang sejumlah 100 milya rupiah. Dana ini digunakan untuk perkara yang menyimpang yaitu untuk memberi bantuan hukum kepada mantan gubernur Bank IndonesiaI, mantan direksi Bank Indonesia dan mantan deputi gubernur Bank Indonesia sejumlah Rp.68,5 milyar serta untuk penyelesaian masalah BLBI dan perubahan UU No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia kepada komisi IX DPR RI (bidang perkara) periode 1999-2004 sejumlah RP.31,5 milyar tanpa mekanisme penerimaan dan pengeluaran resmi Bank Indonesia.
b. Oknum-oknum pejabat BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) yang dibentuk untuk menyehatkan kondisi perbankan, menyelesaikan aset-aset yang bermasalah dan mengupayakan pengembalian uang negara yang telah mengucur ke sektor perbankan selama krisis. Namun ternyata ”buaya” juga yang melakukan kejahatan seperti memberikan penilaian sesukanya atas jaminan aset yang diserahkan obligor, menyuntikkan obligasi senilai ratusan triliun rupiah kepada bank-bank rekap tanpa mengindahkan untuk menjamin pengembalian uang negara yang dibocorkan serta menjual aset-aset yang telah di restrukturisasi dengan menggunakan uang sangat besar dengan harga murah.
c. Para bankir atau pemilik-pemilik bank sebagai berikut :
1) Salim Group (SG) dengan Bank Sentral Asia (BCA) sebesar Rp.25,596 triliun yang dikembalikan hanya 36,77 % sedang sisanya sebesar15,82 triliun dikemplang dengan berbagai tipu daya.
2) Bank Dagang Nasional Indonesia pemiliknyanya adalah Syamsul Nursalim sebagai bank yang melakukan penyimpangan BLBI terbesar mencapai Rp.24,47 triliun dari dana BLBI total 30,9 triliun dari dana BLBI total 30,9 triliun yang diterimanya.
3) Bank Umum Servitia (BUS) dengan pemilik David Nusa Wijaya kejahatannya dengan nilai Rp.4,308 triliun.
4) Bank Pelita dan Istimaret pemilik adalah Agus Anwar yang menyisakan kejahatan uang Rp.2,29 triliun
5) Bank Umum Nasional (BUM) pemiliknya adalah Kaharudin Ongko dan Bob Hasan. Kaharudin ongko dan telah menilep uang sebesar Rp.8,34 triliun sedangkan Bob Hasan Rp.6,15 Triliun.
6) Bank Indonesia Raya (BIRA) pemiliknya adalah Atang Latif telah menyalah gunakan dana Rp.3,66 triliun.
7) Uni Bank dengan pemilik Sutanto Tanoto kejahatannya sebesar Rp.5,39 Triliun
8) Group Chandra Asri dengan pemilik Prayogo Pangestu yang menikmati uang negara BLBI secara tidak langsung dari bank-bank nasional yang dikucurkan dananya dari BLBI.
9) Sinar Mas Group (SMG) dengan pemilik Eka Tjipta Wijaya yang berhutang ke BPPN sebesar 1,25 Milyar Dolar
10) Banyak lagi bankir-bankir yang menyimpangkan dana negara tanpa membayar.
11) Para oknum Kejaksaan dan Kejaksaan Agung serta hakim-hakim dipengadilan yang banyak membebaskan para tersangka baik pejabat Bank Indonesia, BPPN maupun para obligor pada tingkat penyidikan maupun penuntutan contoh saja kasus di kejaksaan agung yang menyangkut jaksa Oerip dan beberapa oknum kejaksaan Agung terhadap kasus Syamsul Nursalim beserta Ayin.
5. Penyelesaian kasus hukum BLBI oleh pemerintah
Sejak tahun 2000 BPK telah menemukan penyimpangan dana BLBI dengan kerugian ratusan triliyun rupiah dan tidak dipublikasikan namun sejak pemerintahan Presiden Habibie, Megawati, hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum terlihat keseriusan memproses temuan BPK tersebut karena ini harus dengan kekuatan politik, padahal laporan BPK jelas menunjukkan berbagai penyimpangan BLBI yang merugikan negara paling tidak sebesar Rp. 138 triliyun jika ditambah dengan pengakuan obligasi untuk penyehatan perbankan menjadi Rp. 600 triliyun yang harus ditanggung rakyat Indonesia hingga berpuluh tahun mendatang.
Adapun langkah yang ditempuh oleh pemerintah adalah melalui mekanisme PKPS atau penyelesaian kewajiban pemegang saham yaitu berupa penyelesaian atas kredit dan manfaat lainnya yang diterima secara tidak wajar oleh eks pemegang saham pengendali (PSP) dan groupnya (affiliated locus) dari Bank Dalam Penyehatan (BDP) dan atau pembebasan seluruh atau sebagian kerugian BDP kepada eks pemegang saham dengan melalui tiga pola yaitu :
a. Melalui Master Settlement and Acquisition agreement (MSAA) yaitu suatu perjanjian antara eks PJP BTO (Barltake Over) dan BBO (Bank Bakrie Operasi) dengan pemerintah diwakili oleh Menteri Keuangan dan BPPN untuk diselesaikan dengan cara penyeraha aset (Asset Stlement) dari PSP kepada BPPN yang nilainya sama dengan jumlah kerugia PSP tanpa jaminan bank-bank adalah BCA, BUNAS, BUNI, dan lain-lain
b. Melalui Master Repinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA) yaitu perjanjian antara eks PSP BTO/Bbo dengan pemerintah (Menkeu dan Ketua BPPN) dengan cara pengerahan aset (aset settlement) dari PSP kepada BPPN yang nilainya lebih kecil dibandingkan dengan jumlah kerugian yang harus diselesaikan disertai jaminan pribadi sebesar nilai kewajiban yang harus diselesaikan oleh BSP . Bank-bank ini adalah BUNAS, dan lain-lain.
c. Melalui Akte Pengakuan Utang (APU) adalah suatu perjanjian antara eks BTO dan BBKU dengan ketua BPPN atau pejabat BPPN untuk menyelesaikan kewajiban eks PSP BTO atau BBKU disertai jaminan aset> Dalam pelaksanaannya karena banyaknya obligator yang gagal memenuhi target penyelesaian, sebagian karena APU telah direformulasi dimana jumlah kwajiban yang harus dibayar pemegang saham (JKPS) dihitung ulang. Bank-bank itu adalah Bank BRU, BLKA, Bank Sewu, Bank Hastin, Bank TATA, Bank Namura yasonta, dll.
d. Kebijakan Pemerintah mengeluarkan Inpres No.8 tahun 2002 tentang menyelasikannya kewajiban-kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelasikan kewajibannya berdasarkan PKPS yang dikenal denan nama Inpres Release and Discharge (R&D) karena membebaskan obligor BLBI dari semua tuntutan hukum apabila mereka bersedia membayar sebagian kewajibannya yang dilaksanakan cukup membayar 30 % saja. Bahkan dalam proses penyidikan akan memperoleh SP3. Sedang yang telah diproses pengadilan surat keterangan lunas dijadikan novum atau bentuk baru yang luar biasa.
e. Ada sebagian yang diproses hukum baik oleh kejaksaan maupun pengadilan yaitu :
1) Bank Harapan Sentosa pemiliknya Hendra Rahardja buron ke Australia divonis seumur hidup dan meninggal disana termasuk juga Eko Adhi Putranto dan Sheng Konjongian kedua-duanya juga buron.
2) Bank Surya yaitu Bambang Sutrisno buron ke Singapura juga andrian Kiki Ariawan lari ke Singapura.
3) Bank sertivia pemilik David Nusa Wijaya lari ke Singapura.
4) Bank Modern yaitu Samadikun Hartono lari ke luar negeri tempat negara tidak jelas.
5) Bank Pelita yaitu Agus Anwar lari ke Singapura.
6) dst.
D. Penutup
1. Kesimpulan.
a. Pengeluaran dana BLBI oleh pemerintah kepada Bankir oleh pemerintah adalah bentuk kebijaksanaan salah kaprah yang tidak berdasarkan rasio dan hati nurani yang didorong oleh kekalutan semata-mata karena pada zaman orde baru sagala kebijaksanaan tidak jelas dimana uang negara dianggapnya uang pribadinya juga sebagai orang kaya bermodal kekuasaan dan ancaman dapat mengucurkan uan negara yang sedemikian besar kepada konglomerat yang bermental culas hanya mengeruk uang untuk kepentingannya dan kroni-kroninya yang nota bene adalah kroni-kroni dari pemerintahan orde baru. Kebijakan ini jelas menyengsarakan rakyat hingga beberapa puluh tahun mendatang.
b. Modus operandi pengucuran dana BLBI sebenarnya hal sangat umum dan sering dilakukan oleh para bankir termasuk juga oleh bank Indonesia, namun karena sudah terjadi KKN antara bankir-bankir dan pemerintah termasuk Bank Indonesia dan BPPN maka dana masyarakatpun diserahkan saja sedemikian rupa.
c. BLBI adalah suatu kejahatan koorporasi yang luar biasa dilakukan oleh pemerintah, bank Indonesia, BPPN dan para bankir.
d. Pemerintah dan aparat hukum tidak tegas menindak obligor BLBI, alasan yang tidak jelas misalnya memprioritaskan pengembalian uang negara dari obligor sehinga merasa perlu untu memberi kemudahan kepada mereka, sehingga proses hukumnya tidak jelas bertele-tele sebagian besar tidak diproses pengadilan, sebagian lagi lari ke luar negeri tanpa dapat ditangkap lagi.
2. Saran
a. Kasus BLBI harus dituntaskan secara hukum, tangkap para konglomerat bankir-bankir yang masih ongkang-ongkang kaki baik diluar negeri maupun yang brada di Indonesia. Proses secara objektif berkeadilan transparan serta terbuka didepan publik lalu dihukum seberat mungkin.
b. Sita seluruh kekayaan dan aset-aset obligor dan upayakan mengembalikan uang negara yang telah digelontorkan dengan berbagai cara.
c. Proses hukum pejabat yang terlibat, jangan ditutup-tutupi baik dari Bank Indonesia, BPPN, Kejaksaan Agung maupun Polri.
DAFTAR PUSTAKA
Marwan Batubara, Skandal BLBI : Ramai-ramai Merampok Negara, Haekal Media Centre, Jakarta 2008.
Fuadi, Munir, Bisnis Kotor Anatomi Kejahatan Kerah Putih, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.
Hermanika. Tini, BLBI Masa Skandal Ekonomi Indonesia, Humanika, Juli 2001.
Alif, M Rizal, Penyalahgunaan Dana BLBI Sebagai Kejahatan Kerah Putih di Indonesia, Hukum Bisnis, 2008.
Sabtu, 30 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar