Minggu, 31 Mei 2009

ISLAM DAN KEBUDAYAAN KAILI DI SULAWESI TENGAH

ISLAM DAN KEBUDAYAAN KAILI DI SULAWESI TENGAH
OLEH Zainuddin Ali
I Pendahuluan
Sebelum membahas Islam dan Kebudayaan Kaili, ada dua kata yang perlu diuraikan , yaitu (1) Islam dan (2) Kaili. (Alfian, 1985: 22-25). Apa yang disebut Kaili dalam tulisan ini, adalah salah satu kelompok etnik di antara 12 (dua belas) kelompok etnik yang mendiami Propinsi Sulawesi Tengah. Dua belas kelompok etnik yang menjadi penduduk (asli) Sulawesi Tengah, etnis Kaililah yang terbesar jumlahnya, yaitu kira-kira 45% dari seluruh jumlah penduduk Sulawesi Tengah (Mattulada, 1991: 115).
Untuk membicarakan Islam dan kebudayaan Kaili di Sulawesi Tengah, penulis mengemukakan: (1) Gambaran Umum Kebudayaan Masyarakat Kaili sebelum Islam, (2) Kebudayaan Masyarakat Kaili sesudah menerima agama Islam, (3) Perilaku Masyarakat Kaili dan kebudayaannya, dan (4) Kesimpulan
II. Gambaran Umum Kebudayaan Masyarakat Kaili Sebelum Islam
Kalau kebudayaan masyarakat Kaili diuraikan sebelum agama Islam datang ke Lembah Palu, perlu diungkapkan kepercayaan masyarakat Kaili, bentuk-bentuk upacara-upacara, dan perilakunya. Hal itu, diuraikan sebagai berikut.
1. Kepercayaan Masyarakat Kaili
Sebelum masyarakat Kaili menganut agama Islam, mereka menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Mereka percaya bahwa gunung-gunung, sungai-sungai, pohon-pohon besar, dan batu-batu besar mempunyai makhluk halus sebagai penghuninya. Kepercayaan itu disebut dalam bahasa Kaili "tumpuna". Tumpuna berarti makhluk halus yang menjaga tempat-tempat tersebut (H.Rusdi Toana, 1989: 14). Masyarakat Kaili menjaga dan memelihara makhluk-makhluk halus pada setiap tempat tersebut dengan memberi servis, yaitu memberi sajian-sajian beserta mantra-mantranya. Servis itu dipimpin oleh seorang dukun (Bahasa Kaili: sando) untuk mengantar ke tempat-tempat yang dianggap mempunyai makhluk halus seperti tempat-tempat yang telah disebutkan (H. Rusdi Toana, 1989: 14). Karena itu, memungkinkan munculnya beberapa kelompok kepercayaan tertentu dalam lingkungan adat Kaili. Lingkungan adat yang kecil-kecil dengan kebanggaan masing-masing, kurang memberikan peluang munculnya pemimpin orang Kaili yang dapat diakui oleh segenap kelompok orang Kaili (Mattulada, tanpa tahun: 101).
Pada setiap kelompok yang kecil-kecil dengan identitas kepercayaan masing-masing hanya mempercayai kepercayaan kelom poknya. Dalam mengemban sesuatu kepercayaan metafisik, setiap kelompok merasakan kepercayaannyalah yang khusus baginya. Itulah menjadi kepercayaan kelompoknya. Tempat pemujaan hanya tersedia bagi kelompoknya, seolah-olah tempat pemujaan leluhur dalam keturunan keluarga kelompok keluarga itu. Sikap isolatif demikian juga, membawa kesempitan wawas-an menghadapi lingkungan luarnya. Sangat asing bagi kelompok-kelompok itu untuk memberikan respek atau simpatik yang ikhlas dan mendalam kepada orang dari lingkaran luarnya, walaupun orang Kaili sendiri (Mattulada, tanpa tahun, 102).
2. Bentuk-Bentuk Upacara
Masyarakat Kaili mempunyai beberapa bentuk-bentuk upa cara, di antaranya sebagai berikut. 2.1 Upacara Penyembuhan Penyakit.
Suku Kaili melakukan penyembuhan penyakit melalui dukun bila ada orang sakit yang dianggap ditegur oleh makhluk halus. Orang sakit itu diobati dengan suatu upacara yang disebut "Nobalia" atau "Novurake". Upacara Nobalia, yaitu: dukun membaca mantera-mantera kemudian ia menjadi kesurupan. Ketika dukun tersebut kesurupan maka menari-nari di atas bara api, yang kemudian ia melawan/mengusir makhlus halus supaya kembali ke tempat-nya atau berhenti mengganggu orang yang sakit (H. Rusdi Toana, 1989: 15).
2.2 Upacara Kematian.
Bila orang Kaili meninggal dunia maka jenazahnya tidak langsung dikuburkan, melainkan jenazah itu disimpan dalam peti kayu yang tertutup rapat-rapat untuk menunggu sanak-familinya dalam rangka upacara penguburannya. Sesudah sanak-famili datang semuanya maka dilakukan penguburan jenazah dan sesudah itu dilakukan pemotongan kerbau atau sapi untuk dihidangkan kepada keluarga yang datang. Pemotongan hewan tersebut, diharapkan supaya roh jenazah tidak mengganggu keluarga yang ditinggalkan (N. Nainggolan, dkk., 1986, 71). 2.3 Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan mempunyai simbol-simbol yang cukup banyak, yaitu: (1) pertunangan, (2) meminang, (3) membawa harta, (4) malam pacar, (5) mencukur rambut, (6) perkawinan. Perkawinan ini dilakukan oleh ketua Dewan Adat, yaitu kedua calon pengantin dimandi oleh ketua Dewan Adat dan sesudah dimandi maka keduanya diberi percikan air pada kepalanya masing-masing (N. Nainggolang, dkk, 1986: 105).
3. Perilaku Suku Kaili.
Selain kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus dan bentuk-bentuk upacara yang disebutkan di atas, juga etnis Kaili mempunyai perilaku yang sama dengan manusia zaman jahiliah di Tanah Arab, yaitu minum ' tule'. Tule adalah suatu jenis minuman keras yang berasal dari batang pohon enau atau kelapa yang disedap. Minuman tule itu memabukkan orang, sehingga banyak terjadi perselisihan di tengah masyarakat, bahkan sering terjadi perang antara kelompok-kelompok sub etnik Kaili. Peperangan itu berlangsung sampai sesudah masuknya Islam ke Lembah Palu dan sampai saat ini masih dirasakan akibatnya. Selain itu, perjudian dan perzinahan sulit diatasi. Begitu juga, perkawinan sering dilakukan melalui "nosikempalaisaka" (kawin lari), yaitu sang pemuda menculik sang gadis lalu membawa lari ketempat lain, agar keduanya mau tidak mau harus dikawinkan melalui jalan kompromi (H. Rusdi Toana, 1989: 15).
III. Kebudayaan Masyarakat Kaili Sesudah Menerima Agama Islam
Masyarakat Kaili di Propinsi Sulawesi Tengah mempercayai bahwa agama Islam mulai masuk di Tanah Kaili pada permulaan abad ke-17, dibawa oleh Abdullah Raqie gelar Datok Karama. Raja-raja dan penduduk amat tertarik untuk mengikuti ajaran yang dibawa oleh ulama itu. Kabarnya ulama itu bera-sal dari Minangkabau, Sumatra. Raja yang pertama memeluk agama Islam dalam abad ke-17 M adalah raja Kabonena Ipue Nyidi yang kemudian diikuti oleh masyarakatya. Ulama yang meletakkan dasar-dasar ajaran agama Islam di Tanah Kaili. Datok Karama mengajarkan ajaran agama Islam dimasyarakat yang mendiami Kabupaten Donggala. Ajaran agama itu pada mulanya disampaikan melalui ceramah-ceramah di upacara-upacara (baik upacara perkawinan, kematian, dan semacamnya). Penyampaian ajaran agama tersebut, lambat-laun dismpaikan melalui ceramah-ceramah di Langkara (mesjid) yang kemudian diteruskan oleh murid-muridnya dari satu generasi ke generasi berikutnya sampai sekarang. Di samping itu , orang- orang Kaili kawinmawin dengan orang-orang Bugis, Makassar, dan Mandar dari Sulawesi Selatan yang pada umumnya sudah memeluk agama Islam, sehingga menyebarlah agama Islam di Tanah Kaili. Akibat kawin-mawin yang disebutkan itu, kebudayaan atau adat kebiasaan orang-orang Kaili di sepanjang pesisir pantai Barat Sulawesi (selat Makassar) akrab dengan adat kebiasaan orang-orang Bugis di Sulawesi Selatan (Mattulada, tanpa tahun: 51. Zainuddin Ali, 1995: 26).
Selain Datok Karama dan orang-orang Bugis sebagai pembina agama Islam atau sebagai guru dan pengawal hukum Islam yang disebutkan di atas, salah seorang ulama yang berjasa mengembangkan dan menerapkan hukum Islam di Sulawesi Tengah adalah H.S. Idrus bin Salim al-Jufri, lahir tahun 1889 M di Taris, sebuah kota kecil di Propinsi Hadramaut, Arab Selatan. Dengan penguasaan al-Jufri di bidang ilmu agama Islam, ia mendapat dukungan tokoh-tokoh adat untuk mendirikan lembaga pendidikan Islam pada tanggal 30 Juni 1930 dan diberi nama al-Khairat. Peranan lembaga pendidikan al-Khairat dalam menyebarkan dan menerapkan hukum Islam di Sulawesi Tengah Amat Besar. Ini dimungkinkan karena para ulama al-Khairat berfungsi ganda, yakni sebagai tokoh agama di satu pihak dan di pihak lain sebagai tokoh adat di setiap Kelurahan/Desa. Secara langsung mereka berperan pada upacara-upacara keagamaan yang berkaitan dengan penerapan hukum Islam. Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya, upacara perkawinan, kematian, hitanan, dan sebaginya yang dilakukan oleh masyarakat Kaili yang mendiami wilayah Propinsi Sulawesi Tengah (Zainuddin Ali, 1995: 27).
Uraian di atas, menunjukkan bahwa ketika agama Islam diterima oleh masyarakat Kaili di Propinsi Sulawesi Tengah, nilai-nilai hukum ajaran agama Islam berhadapan dengan nilai-nilai hukum adat yang berlaku, dipelihara, dan ditaati sebagai sistem hukum yang mengatur masyarakat Kaili. Karena itu proses penerimaan hukum Islam sebagai sistem hukum bersama-sama dengan sistem hukum adat Kaili untuk mengatur masyarakat tersebut, yang kemudian lambat-laun hukum adat etnis Kaili dalam hal tertentu digeser posisinya oleh ajaran agama Islam sehingga ajaran agama Islam menjadi adat kebiasaan etnis Kaili dan dalam lain hal yang tidak diatur oleh ajaran agama Islam dan/atau tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam maka hukum adat itu tetap berlaku bersama-sama dengan ajaran agama Islam untuk mengatur masyarakat Kaili. Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya, upacara perka-winan. Pada upacara tersebut, tampak pelaksanaan hukum Islam di satu pihak dan di pihak lain tampak pelaksanaan adat kebiasaan yang menyertainya sebelum agama Islam datang (Zainuddin Ali, 1995: 448). Pergeseran budaya sebelum Islam tersebut, melalui proses yang panjang yakni sejak diterimanya agama Islam oleh etnis Kaili (awal abad ke-17) sampai saat ini (akhir abad ke-20) masih berlangsung, sehingga kebudayaan sebelum Islam masih ditemukan unsur-unsurnya karena para ahli hukum Islam menerima budaya-budaya yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam dengan memanfaatkan qaidah fiqhi al- `adatu muhakkamah (adat kebiasaan yang baik atau adat yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat dijadikan salah satu sumber hukum Islam) (Zainuddin Ali, 1995: 32). Kebudayaan yang dimaksud di antaranya: 1. Upacara Pengobatan.
Suku Kaili masih dapat ditemukan melakukan penyembuhan penyakit melalui dukun bila ada orang sakit yang dianggap ditegur oleh makhluk halus. Namun mantera-mantera yang dibaca oleh dukun dimaksud, sudah bersumber dari bacaan al-Qur`an. 2. Upacara Kematian.
Bila orang Kaili meninggal dunia maka berdatanganlah sanak-family untuk menjenguk jenazah yang meninggal, kemudian dilakukan penguburan jenazah. Sesudah jenazah tersebut dikuburkan maka dilakukan upacara tahlilan yang kemudian dilakukan pemotongan kerbau atau sapi untuk dihidangkan kepada keluarga yang datang. Upacara tersebut dilakukan sebagai tanda roh jenazah almarhum bertemu dengan Tuhannya. 3. Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan mempunyai simbol-simbol yang cukup banyak, yaitu: (1) pertunangan, (2) meminang, (3) membawa harta, (4) malam pacar, (5) mencukur rambut, (6) perkawinan. Aqad nikah perkawinan itu dilakukan oleh Pua imam (pua Qadhi) berdasarkan syariat Islam. IV. Perilaku Suku Kaili dan Kebudayaannya
Suku Kaili terdiri atas beberapa sub etnik yang pada umumnya beragama Islam. Suku Kaili yang mengetahui dan memahami pentingnya ajaran agama Islam untuk diamalkan oleh setiap muslim mempunyai perilaku yang Islami dan membentuk budaya yang Islami. Warga masyarakat yang demikian, seperti yang telah dikemukakan bahwa tokoh-tokoh Al-Khairat berfungsi ganda, membentuk kebudayaan Islam, dan Kebudayaan yang Islami. Selain beberapa kelompok etnik Kaili yang membentuk kebudayaan Islam dan kebudayaan yang Islami, namun tidak diingkari bahwa masih terdapat orang-orang Kaili yang beragama Islam mempunyai perilaku yang belum sepenuhnya mengamalkan kebudayaan Islam, yakni orang-orang yang tidak mengetahui dan memahami pentingnya ajaran agama Islam untuk diamalkan atau pengamalan ajaran agama Islamnya hanya separuh-separuh. Hal itu, tampak perilakunya seperti kefanatikan dan nasibisme, yaitu adanya pandangan bahwa kelapa yang sudah tua akan jatuh dengan sendirinya, sehingga kita tak perlu berpayah-payah untuk memanjatnya. Paham ini bukanlah sesuatu yang baru dalam teologi Islam, melainkan keadaan demikian dapat ditelusuri dalam paham jabbariyah. Selain itu, lahan Sulawesi Tengah yang masih amat luas, dengan penduduk masih jarang selalu mengundang penduduk untuk merasa tak perlu berdaya upaya yang keras untuk memenuhi keperluan hidup. Desakan untuk bekerja keras, belum menjadi keperluan yang dihajatkan. Kalau pada suatu saat tantangan datang dan memaksa memberikan tanggapan yang sepadan dengan tantangan itu, maka bagi mereka yang tidak biasa menghadapi hal semacam itu, akan cepat mengalah, menghindar dari tantangan itu. Cara yang kerapkali muncul apabila tak mampu memberikan tanggapan terhadap sesuatu tantangan yang dihadapinya ialah bereaksi negatif, seperti melakukan tindakan sembunyi-sembunyi berupa "surat kaleng", fitnah, atau saling menuduh dan perbuatan lain yang acapkali merugikan dirinya sendiri (Mattulada, tanpa tahun: 118). Selain itu, kebiasaan hidup berkelompok secara kecil-kecilan, berdasar kekerabatan territorial masih mewarnai kehidupan organisasi sosial, politik dan kebudayaan. Jabatan-jabatan tumpuk pimpinan pada Pemerintahan Daeah Tingkat I dan di Propinsi Sulawesi Tengah dapat dikatakan masih menjadi sasaran utama untuk dijadikan prioritas untuk diperebutkan. Jabatan-jabatan dalam pemerintahan (Pamong-Praja) masih dipandang sebagai jabatan-jabatan yang memberikan gensi atau prestise yang amat didambakan dalam masyarakat (Mattulada, tanpa tahun, 119). Alur pikir yang dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa setiap pejabat orang Kaili yang menduduki sesuatu jabatan (Prestise) seperti yang didambakannya pertama-tama akan menjadi sasaran kegiatannya dalam "jabatan" itu ialah melengkapi dirinya dengan lambang-lambang prestise dan kelompok pendukung yang memperkokoh solidaritas kelompok dengan ikatan-ikatan emosional yang peka. Kelemahan-kelemahan seperti itu menjadi bahagian dari kehidupan orang Kaili yang perlu segera diperbaiki dengan cara pemupukan sekuat-kuatnya benih-benih kehidupan yang mendambakan keuletan dalam berperestasi di segala bidang kehidupan melalui pengamalan ajaran Islam secara utuh. Barangkali masih dalam rangkaian keinginan memamerkan prestise dan pembinaan kelompok solidaritas emosional, maka kini pun masih dipandang sesuatu yang "biasa" apabila seseorang itu menduduki banyak posisi dalam organisasi kemasyarakatan, dari bermacam-macam profesi. Satu kesadaran teritorial yang lebih luas, katakanlah semangat kesatuan wilayah se Propinsi Sulawesi Tengah dari sekian banyak kelompok etnik dan sub etnik di luar kelompok etnik To-Kaili masih memerlukan waktu yang agaknya masih panjang untuk menjadi daya rekat yang positif, bagi satu kesadaran umum yang menopang kesadaran yang berwawasan Nusantara (Mattulada, tanpa tahun, 119). Selain contoh-contoh yang dikemukakan di atas, kehidupan kelompok-kelompok sebelum Islam yang hanya mengetahui lingkungannya dan tidak mau mengetahui atau menghormati di luar lingkungannya masih dapat ditemukan dalam kehidupan sosial keagamaan saat ini. Sebagai contoh dapat disebut misalnya adanya organisasi-organisasi yang bergerak di bidang pendidikan dan da`wah Islamiyah yang mempunyai perbedaan. Mislanya, Muhammadiyah dan Al-Khairat. Perbedaan ke dua organisasi tersebut masih menjadi "pertentangan klasik". Namun, bila orang-orang yang terlibat ke dalam ke dua kelompok tersebut mengetahui di luar lingkungannya maka akan memahami bahwa yang menjadi obyek perbedaan adalah persoalan budaya seperti dikemukakan pada bagian awal tulisan ini. V. Kesimpulan
1. Kebudayaan kelompok-kelompok etnis Kaili sebelum agama Islam diterima di Lembah Palu masih ada yang dapat ditemukan unsur-unsurnya saat ini, baik yang belum me- ngalami perubahan maupun yang sudah mengalami perubahan.
2. Kebudayaan etnis Kaili mengalami perubahan berdasarkan waktu, tempat, dan dukungan dari masyarakat sebagai pencipta, pemelihara, dan pengubah kebudayaan, sehingga tampak terjadi pergeseran budaya, yaitu budaya non Islami posisinya digeser oleh budaya yang Islami.
3. Kelompok-kelompok etnis Kaili yang mengetahui dan memaha mi pentingnya ajaran agama Islam untuk diamalkan oleh setiap muslim maka mereka mempunyai perilaku budaya yang Islami. Sebaliknya, kelompok-kelompok etnik Kaili yang mengetahui dan memahami ajaran Islam tetapi tidak mampu mengamalkan dan/atau hanya mengamalkan separuh-separuh akan mewujudkan budaya yang tidak Islami.
4.Kebudayaan etnis Kaili adalah kebudayaan yang Islami karena Dewan Adat berfungsi ganda, yaitu tokoh agama dan tokoh adat.
KEPUSTAKAAN
Alfian, ed., Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta: Gramedia, 1985.

Ali, Zainuddin, "Penerapan Zakat Maal dalam Perubahan Sosial di Kota Palu". Tesis Magister IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1990
--------------. "Urgensi Zakat Profesi Kini dan Esok". Jakarta: Departemen Agama RI, 1990.
--------------. "Penerapan Zakat Profesi dalam Perubahan Sosial di Kota Palu". Palu: Balai Penelitian Univ. Tadulako, 1990.
-------------. "Persepsi Para Hakim Agama di Kota Palu Mengenai Tantangan Penerapan Pasal 49 Ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989". Jakarta: Fakultas Hukum Univ. Indonesia, 1992.
--------------. "Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten Donggala". Disertasi Doktor Program Pascasarjana Univ. Indonesia, 1995
Hashim Kamali, Mohammad. Principles of Islamic Yurisprudence Cambridge: Islamic Society, 1991.
Hazm, Abu Muhammad Ibn. Al-Ahkam fi Usul al-Ahkam. Beirut: Dar al-afak al-Jadidah, 1980.

Ihromi, T.O. Bianglala Hukum. Bandung: Transito, 1986.

Mattulada, H.A., Sejarah Kebudayaan Orang Kaili. Palu: Badan Penerbit Univ. Tadulako, tanpa tahun.

--------------. "Sejarah Kebudayaan Orang Kaili" dalam Antropologi Indonesia. Jakarta: FISIP Univ. Indonesia, 1991.Nainggolan, Ny. N., dkk., Adat Istiadat Sulawesi Tengah. Palu: Berlian, 1986.
Nainggolan, Ny. N., dkk., Sejarah Pendidikan Sulawesi Tengah. Palu: Berlian, 1986.
Roberts, Robert. The Social Laws of the Qor`an. Delhi: Kalam Mahal Darya Ganj, 1977.
Rosental, E.I.J. Islam in the Modern Nasional State. London: Cambridge University Press, 1965.
Toana, H. Rusdy, "Studi Tentang Masuk dan Perkembangan Agama Islam Di Kab. Dati II Donggala". Palu: Balai Penelitian Univ. Tadulako, 1989.

HIKMAH TAHUN BARU 1 MUHARRAM

HIKMAH TAHUN BARU 1 MUHARRAM DALAM KAITAN
AKTUALISASI NILAI-NILAI ISLAM DALAM PERKEMBANGAN
ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI
DI UNIVERSITAS TADULAKO*)

Oleh: Prof. Dr. Zainuddin Ali, MA

A. Pendahuluan
Membicarakan "Hikmah Tahun Baru 1 Muharram 1417 H Dalam Kaitan Aktualisasi Nilai-nilai Islam Dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Universitas Tadulako, Palu" pada hakekatnya membicarakan salah satu asas GBHN 1993, tujuan pendidikan nasional dalam GBHN, dan UU No. 2 Tahun 1989, yaitu manusia yang tangguh dalam iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tangguh dalam iman berarti manusia yang memiliki kualitas iman yang siap menghadapi tantangan masa depan. Peningkatan kualitas tersebut, bila dikaitkan dengan perintah Allah SWT kepada Rasulullah SAW bersama Sahabatnya untuk melaksanakan Hijrah dari kota Mekkah ke Kota Madinah merupakan suatu proses transformasi masyarakat dari masyarakat Jahiliyah di Mekkah ke masyarakat yang Islami di Madinah atau dari suatu keadaan jelek menuju keadaan baik yang dipersiapkan untuk menghadapi tantangan, baik tantangan masa kini maupun di masa akan datang. Dalam proses transformasi tersebut ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu keberlanjutan di satu pihak, dan perubahan di pihak lain. Tarikan antara kedua hal itulah yang menimbulkan dinamika dalam perkembangan budaya keislaman. Keberlanjutan saja yang kita pertahankan yang mengaplikasikan terpeliharanya keteraturan akan membuat kebudayaan bersifat statis, karena ia akan cenderung resisten terhadap perubahan dan bahkan tertutup terhadap gagasan-gagasan baru yang datang yang dapat lebih memperkaya khasanah kebudayaan Islam itu. Selain itu, perubahan saja tanpa keberlanjutan akan mengakibatkan suatu kebudayaan kehilangan jati dirinya sehingga timbul "anomia" pada masyarakat sebagai pendukung kebudayaan. Perubahan dan keberlanjutan tidak boleh dipandang secara dikotomi, melainkan dua hal yang komplementer. Demikian juga Islam tidak mengenal dikotomi atau pemilahan antara agama (iman dan taqwa) dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun justru sebaliknya diperlukan keterpaduan keduanya. Bangsa-bangsa yang telah maju adalah bangsa yang mampu menciptakan perimbangan dan keselarasan antara keduanya. Dalam konteks pembangunan nasional, kita perlu menciptakan keseimbangan dan keselarasan antara perubahan dan keberlanjutan melalui pendidikan nasional yang direncanakan melalui GBHN, baik pendidikan yang dikelola melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan maupun pendidikan yang dikelola melalui Depertemen Agama RI. Karena itu, pemakalah mempokuskan kajian pada "HIKMAH HIJRAH RASULULLAH DARI MEKKAH KE MADINAH" dalam rangka menghadapi tantangan di masa depan.
B. Hikmah Hijrah Rasulullah dari Mekkah ke Madinah.
Rasulullah menyebarkan ajaran agama Islam di Kota Mekkah lebih 10 Tahun sesudah diangkat oleh Allah menjadi Nabi dan Rasul (17 Ramadhan/6 Agustus 610 M). Namun, penyebaran ajaran agama tersebut mengalami tantangan yang luar biasa di Kota Mekkah sehingga Allah mengeluarkan perintah hijrah tersebut, sementara di Kota Madinah masyarakatnya memerlukan pemimpin yang dapat mempersatukan suku-suku dalam membangun Kota Madinah dalam rangka mencapai keselamatan di dunia dan di akhirat kelak. Keadaan kota Madinah ketika itu, selalu terjadi peperangan antara suku Aus di satu pihak dan di pihak lain suku Khazraj**).
Ke dua suku itulah yang selalu melakukan peperangan sehingga terjadi kekacauan dalam masyarakat. Kekacauan itulah yang memerlukan ke datangan Rasulullah bersama sahabatnya untuk mempersatukan masyarakat dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk membangun bangsa dan Negara menuju negara Islam yang pertama di dunia ( 12 Rabi'ul Awal 1 H/24 September 622 M). Rasulullah mempersatukan suku-suku di kota Madinah berpedoman kepada surah Al-Hujraat ayat: 13
Pengamalan ayat tersebut, membentuk masyarakat yang bersatu di bawah naungan Islam yang mempunyai sistem ilmu pengetahuan, sistem budaya, sistem Politik, sistem ekonomi, sistem pemerintahan dan beberapa sistem lainnya.
C. Hijrah Rasulullah dalam Kaitannya Strategi Pendidikan dan Efektivitas Penanaman Nilai Agama di Universitas Tadulako
Politik kolonialis Belanda dan Jepang telah menciptakan dikotomi pendidikan di Indonesia, di satu pihak tampak jenis pendidikan yang dikelola melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI seperti Lembaga pendidikan di Univ. Tadulako dan di pihak lain tampak jenis pendidikan yang dikelola melalui Departemen Agama RI seperti Lembaga Pendidikan IAIN Alauddin di Palu. Dikotomi yang demikian, membentuk opini mengenai pengkajian ajaran agama (baca: Islam), yaitu (1) ada yang berpendapat bahwa orang Islam yang ingin mengkaji ajaran agama Islam sebaiknya pendidikan itu ditempuh melalui IAIN, dan (2) ada yang berpendapat bahwa orang Islam yang ingin mengkaji ilmu pengetahuan dan teknologi silahkan belajar di Perguruan Tinggi yang dikelola oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., dan (3) ada yang berpendapat bahwa orang Islam yang ingin mengkaji ilmu pengetahuan dan teknologi di mana saja dan kapan saja, maka ilmu pengetahuan dan teknologi itu tidak dapat dipisahkan dengan ajaran agama (ajaran agama Islam bagi orang Islam dan ajaran non Islam bagi orang yang bukan beragama Islam). Pendapat yang terakhir itulah yang merupakan salah satu nilai dari nilai-nilai Hijrah Rasulullah bersama Sahabatnya yang mengilhami Rektor Pertama Univ. Tadulako (Prof. Dr. H. Mattulada) sehingga mengangkat Dosen pendidikan agama Islam di Univ. Tadulako (dosen pendidikan agama yang terbanyak pada Perguruan Tinggi Negeri yang dikelola oleh Departemen P & K se Indonesia), di Palu.
Pengangkatan dosen agama tersebut, melahirkan lagi opini di Untad. Namun, Prof. Mattulada memanggil semua dosen agama Islam dan para pimpinan Fakultas dan UPT., kemudian menyampaikan bahwa pengangkatan dosen agama dimaksudkan bukan hanya mengajar dan mendidik kepada mahasiswa melainkan juga mengajar kepada Bapak-bapak mengenai ajaran agama Islam. Selain itu, mendirikan gedung yang diberi nama "Pusat Pengkajian Islam dan Pancasila". Gedung tersebut, dimaksudkan untuk ditempati untuk mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan ajaran agama Islam dan Pancasila. Nilai-nilai Tahun baru Hijriah tersebut yang diimplementasikan dengan ide pengangkatan Dosen Agama di Universitas Tadulako bila ditumbuh kembangkan akan mampu mengaktualisa-sikan nilai-nilai Islam dalam perkembangan Ilmu pengetahuan dan Teknologi di Universitas Tadulako.
D. Kesimpulan
Pimpinan Universitas dan Para pimpinan Fakultas dan UPT dalam lingkungan Universitas Tadulako bila memamfaatkan dosen pendidikan agama Islam berdasarkan nilai-nilai Hijrah Rasulullah SAW (Tahun baru Hijriyah) akan mampu diaktualisasikan nilai-nilai Islam dalam perkembangan Ilmu pengetahuan dan Teknologi di Universitas Tadulako.
Sekian, semoga ada manfaatnya pemikiran ini.

KEPUSTAKAAN
Al-Maududi, Abul A'la. Khilafah dan Kerajaan. Mizan, Bandung, 1984.
Arberry, A.J. Revolution and Reason In Islam. London: Allen and Unwin, t.t.
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986.
----------. Akal dan Wahyu dalam Islam, UI Press, Jakartay, 1986.
----------. Teologi Islam, UI Press, Jakarta, 1972.
----------. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, UI Press, Jakarta, 1985.
Madjid, Nurcholis. Khazanah Intelektual Islam. Bulan Bin tang, Jakarta, 1985.
Mulkhan, Abdul Munir. Perubahan Perilaku Politik dan Polari sasi Ummat Islam 1965-1987. Rajawali Press, Jakarta, 1989.
Nader, Al-Bert N., Falsafah al-Mu`tazilah, Dar al-Nasyr al- Saqafah, Alexandria, 1950.
Syadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. UI Press, Jakarta, 1990
Syahirul Alim, H.A. Islam untuk Disiplin Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Dep. Agama RI, 1995
*) Di sampaikan pada hari Sabtu tgl 1 Juni 1996 dalam rangka memperingati Tahun Baru 1 Muharram 1417 Hijriyah di Mushallah Nurul Taqwa FISIP Universitas Tadulako.
**) Suku Hazraj dan Suku Aus selalu berperang sebelum Nabi Muhammad berhijrah ke Madinah

PEREMPUAN DAN POLITIK Dalam Prespektip Hukum

PEREMPUAN DAN POLITIK
Dalam Prespektip Hukum*)

Oleh:
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA**)
A. Pendahuluan

Pasal 65 (1) Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum berbunyi : “Partai Politik” peserta pemilihan Umum dapat mencalonkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten / Kota dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 %.
Menyikapi hal tersebut, maka kesiapan perempuan dalam pentas politik akan diuji karena kaum perempuan harus berhadapan dengan kaum laki-laki yang telah lama mendominasi di parlemen. Undang-undang tersebut, merupakan suatu peluang emas di satu pihak dan di lain pihak merupakan tantangan yang berat untuk kalangan perempuan.
Kesenjangan kesadaran politik antara perempuan dan laki-laki masih sangat besar. Akibatnya, secara umum, perempuan masih berada dalam keterpurukan. Hal ini mendorong Hizbut Tahrir Indonesia (selanjutnya disebut HTI) terus melakukan upaya-upaya penyadaran terhadap kaum perempuan. Salah satu usahanya adalah menye-lenggarakan Tabligh Akbar Interaktif Muslimah pada hari Senin, 26 Apr 2004 di Gelora Pancasila, Surabaya.
Menurut Iffah Rahmah, juru bicara Tabligh Akbar dimaksud, ia mengungkapkan bahwa masih rendahnya kesadaran politik perempuan akan sangat mempengaruhi perannya dalam pengembangan umat. Karena itu, perempuan harus bangkit dari keterpurukan dan cerdas dalam politik. "Perempuan itu memiliki potensi yang sama dengan laki-laki untuk memajukan masyarakat," Ia menambahkan, kesadaran politik itu juga harus selalu dikaitkan dengan koridor Islam (bagi orang Islam dan bagi agama selain Islam tentunya sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing).
Tabligh akbar yang mengusung tema Membangun Kecerdasan Politik Perempuan ini dihadiri sekitar 1.000 muslimah yang terdiri anggota HTI maupun masyarakat umum. Hadir sebagai pembicara adalah Rif’ah Kholidah Wahyuni (HTI Surabaya) san Ismah Cholil (HTI Jakarta).
Menurut Ismah, seorang ibu yang memiliki kesadaran politik, sangat berpotensi besar membentuk kepribadian anaknya dengan baik. "Bila dalam interaksinya, ibu selalu memberikan ketajaman wawasan, maka kemampuan anak akan terasah,". Karena itu, perempuan harus cerdas politik agar bisa mencetak generasi politik muslim yang berjiwa ikhlas, bersih, pantang menyerah, dan selalu teguh memperjuangkan agamanya.
B. Permasalahan
Bagaimana memcerdaskan perempuan dalam dunia politik sehingga tidak menjadi korban politik baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
C. Perempuan dan Politik
1. Perempuan Masa Lalu
Bagaimana kita membayangkan gerakan perempuan di masa lampau? Sejarah tidak banyak mencatat peranan perempuan. Padahal, di masa revolusi gerakan perempuan sepenuhnya dikerahkan untuk mendukung agenda nasionalis. Perempuan bekerja di dapur-dapur umum yang secara vital menentukan ketahanan para gerilyawan. Mereka menyusup dan menyamar untuk menyelundupkan informasi strategis, menjadi mata-mata, merawat pejuang yang luka. Tak kurang perempuan yang mengangkat senjata. Di masa Orde Baru, barangkali lebih mudah bagi kita membayangkan posisi perempuan.
Ada organisasi-organisasi seperti PKK yang secara khusus mengarahkan peran perempuan untuk mendukung target-target pembangunan. Termasuk di sini target KB yang menghitung kepatuhan tubuh perempuan untuk dipasangi alat kontrasepsi secara statistik sebagai ukuran suksesnya. Organisasi Kowani yang semula merupakan pejuang-pejuang pioner isu-isu perempuan dibelokkan oleh negara untuk mendukung apa yang disebut Julia Suryakusuma sebagai ideologi Ibuisme.
Dalam era Orde Baru perempuan yang ideal adalah yang mendukung karier suami, yang menjadi ibu dan pengurus rumah tangga yang baik, yang melahirkan anak-anak bangsa. Kedudukannya sebagai warga negara tidak mendapatkan prioritas utama. Membayangkan perempuan di masa Orde Baru adalah membayangkan lukisan Kartini versi Dede Erie Suparia (Kartini yang terperangkap di bawah alat pemanas rambut dan lipstik), atau perayaan-perayaan Kartini yang penuh ritual dan lomba-lomba memasak.
Di masa Reformasi, kita tidak perlu membayang-bayangkan, sebab masih segar dalam benak kita bayang-bayang peristiwa Mei 1998 dan berbagai kekerasan di Aceh, Timor Timur, Kalimantan, Ambon, Irian Jaya, Poso dan tempat lainnya. Selama tiga puluhan tahun kita tidak pernah diberi kesempatan untuk memikirkan bahwa militerisme di balik pembangunan dan ibuisme dapat meledakkan begitu banyak korban, terutama kaum perempuan. Dalam situasi konflik dan kekerasan yang merebak di akhir abad ke-20 di Indonesia, tubuh perempuan telah menjadi arena untuk menciptakan teror, menaklukkan atau menundukkan kelompok-kelompok yang dicap sebagai "musuh."
Tetapi di saat yang sama, kita melihat munculnya suatu arus gerakan perempuan yang menolak dan melawan kecenderungan menjadikan perempuan sebagai korban. Di awal gerakan Reformasi, pada hari yang ditetapkan sebagai Siaga I, sejumlah perempuan kelas menengah di Jakarta yang menamakan diri mereka Suara Ibu Peduli menggemparkan media massa dan aparat dengan "Politik Susu". Politik susu menggugat pemerintah dan kepedulian masyarakat terhadap korban kebijakan yang berujung di krisis ekonomi, yakni anak-anak dan perempuan. Bahasa "Ibu" berhasil menyentuh dan menggerakkan masyarakat, sehingga pada saat mahasiswa turun ke jalan, masyarakat dari berbagai lapisan tergugah menyalurkan nasi bungkus, uang, obat-obatan dan tenaga mereka, bukan sekadar sebagai tanda simpati tetapi juga sebagai bentuk perlawanan terhadap penguasa.
Sejak itu pula kita melihat, bagaimana LSM perempuan, yang selama Orde Baru bergerak di "bawah tanah" untuk melakukan advokasi politis, seperti Kalyanamitra, dan aktivis-aktivis LSM lainnya yang telah mengasah kemampuan mereka secara sembunyi-sembunyi di masa represi tersebut, muncul ke permukaan. Dengan kemampuan membuat jaringan, para aktivis ini menjadi tulang punggung kuat gerakan Reformasi yang berhasil menumbangkan Soeharto. Insiden-insiden yang bertentangan dengan rasa kemanusiaan di Semanggi, Trisakti, Ketapang yang bercorak militeristis menggugah mereka untuk membuat kelompok-kelompok relawan kemanusiaan dengan misi dan target khusus untuk merespons keadaan darurat.
Selain aktivis perempuan kawakan, muncul tokoh-tokoh yang selama ini bergerak di lapangan akademis, seperti Marwah Daud, Karlina Leksono, dan masyarakat awam yang selama ini merasa dirinya "apolitis." Gerakan Suara Ibu Peduli, misalnya, yang berawal dari segelintir perempuan kelas menengah atas, pada akhirnya melibatkan ribuan perempuan dari berbagai lapisan, terutama lapisan menengah bawah. Para ibu yang tersebar di berbagai pelosok perkampungan Kota Jakarta tersebut melakukan berbagai upaya untuk mengatasi krisis ekonomi di lingkungannya masing-masing, termasuk menyalurkan beasiswa untuk anak sekolah, membuat penjualan sembilan bahan pokok secara murah. Berawal dari panggilan kemanusiaan dan kebutuhan untuk bertahan hidup melalui penjualan susu murah, gerakan ini berujung pada penyadaran hak politik dan keterlibatan masyarakat basis untuk memecahkan berbagai masalah sosial yang ada di lingkungan mereka.
Salah satu gerakan yang paling dahsyat muncul dari para korban kekerasan itu sendiri, ibu-ibu yang kehilangan anak-anaknya, dan perempuan yang
mengalami kekerasan pada waktu kerusuhan atau menjadi korban dalam Tragedi Semanggi, Trisakti, Aceh, Ambon, Poso dan kekerasan lainnya. Seorang ibu yang anaknya terbakar di sebuah mal di Bekasi kini tak henti-hentinya bersaksi di mimbar-mimbar kemanusiaan dan mimbar prodemokrasi untuk mengupayakan keadilan dan menghentikan kekerasan. Sejumlah korban kekerasan domestik menjadi tulang punggung upaya pendampingan korban perkosaan di berbagai tempat.
Pada awal tahun 2000, 400 perempuan di Aceh dari berbagai pihak yang berseteru, yang secara kolektif mengalami paparan kekerasan komunal secara terus-menerus memutuskan untuk berkumpul dan mencari jalan keluar bersama. Di wilayah-wilayah konflik muncul gerakan lintas agama, suku, etnis, kelompok yang diprakarsai perempuan. Ketika masyarakat terbelah dan pemimpin lokal tak bisa duduk berunding lagi, Gerakan Perempuan Peduli di Ambon yang terdiri dari perempuan Muslim, Protestan, Katolik, dengan risiko ancaman dari kelompoknya sendiri, saling bergandengan tangan menyebarkan pamflet, mengobati korban, dan mencari solusi damai.
2. Perempuan Masa Kini
Berdasarkan contoh-contoh di atas, Saparinah Sadli, Ketua Komisi Nasional anti-Kekerasan terhadap Perempuan menyatakan bahwa saat ini gerakan perempuan di Indonesia tengah memasuki babak ketiga dalam sejarah perkembangannya. Dalam periode nasionalisme dan periode Orde Baru, kaum perempuan berjuang untuk kepentingan bangsa atau negara, bahkan pada periode yang terakhir tersebut, dikooptasi untuk kepentingan penguasa. Baru dalam dua tiga tahun terakhir, menurut
Saparinah Sadli, gerakan perempuan Indonesia mulai berjuang dengan
perspektif yang secara khusus menyuarakan kepentingan dan visi
perempuan.
Secara khusus visi khas perempuan disebut oleh Nunuk Murniati sebagai "Politik Perempuan". Politik perempuan bersumber dari pengalaman hidup perempuan sehari-hari, dan bertolak dari realitas sosial yang ada itu kaum perempuan membuat strategi-strategi politis dan advokasi yang menawarkan alternatif terhadap tatanan dan ideologi yang dominan. Di hadapan politik kekerasan, perempuan menawarkan gerakan damai. Di hadapan politik identitas dan primordialisme, perempuan mengajukan gerakan lintas kelompok, di hadapan politik kekuasaan, perempuan menunjukkan bahwa pemberdayaan warga dari bawah merupakan gerakan politik yang sangat penting. Di hadapan politik partai yang kisruh, perempuan menekankan pendidikan masyarakat dengan perubahan yang mungkin tak terlihat tapi mendasar.
Pemberdayaan dari bawah melalui partisipasi seluruh warga, termasuk perempuan dan kaum marginal lainnya, menurut Ita F Nadia, merupakan koreksi perempuan terhadap konsep demokratisasi dan masyarakat sipil yang sempit, yakni yang menekankan proses kelembagaan formal saja. Sementara pilihan untuk tidak bermain di politik partai, menurut Kamala Chanrakirana, merupakan suatu
yang disadari karena kelompok-kelompok perempuan melihat kelemahan politik partai dalam menegakkan nilai-nilai moral dan etika politik. Tetapi sebagai konsekuensinya adalah kurang terwakilinya perempuan di DPR, dan juga kurangnya liputan media yang cenderung memusatkan perhatian pada politik formal. Lagi pula, seperti diakui oleh Nunuk, "politik perempuan" yang sedang dalam proses redefinisi oleh kaum perempuan itu, sulit dipahami, dan banyak yang cenderung salah mengerti. Di lain sisi, pihak-pihak yang menginginkan status quo kekuasaan, cenderung melihat gerakan perempuan, dan gerakan demokratisasi lainnya, sebagai suatu ancaman.
Marginalisasi, dan tidak tampilnya "politik perempuan" di politik
formal menimbulkan kesan bahwa setelah hingar bingar Reformasi, gerakan
perempuan di Indonesia mulai menyurut. Ketika berbagai elite politik
berlaga di kancah politik formal di tingkatan nasional, dan berbagai isu bermunculan, suara kaum perempuan hampir tidak terdengar. Kesan semacam ini seringkali datang dari para aktivis perempuan sendiri, yang merasa gerakan perempuan saat ini tidak jelas fokusnya. Sulitnya membuat fokus, menurut Saparinah Sadli, terjadi karena masyarakat kita yang terlalu besar dan terlalu majemuk. Tetapi di sisi lain kemajemukan itu sendiri juga menunjukkan ciri babak ketiga gerakan perempuan di Indonesia, yakni periode pluralisasi gerakan.
Myra Diarsi mengemukakan pentingnya meletakkan kendala gerakan
perempuan dalam konteks sejarah maupun konteks struktural. Keberadaandi antara 210 juta penduduk Indonesia yang plural seringkali membuat orang ragu untuk mengambil sikap atau posisi karena sangat mudah untuk memecah belah kelompok secara politis karena perbedaan nilai, misalnya nilai agama. Perbedaan-perbedaan ini membuat gerakan perempuan rentan menghadapi politik yang memecah belah. Selain itu, keberadaan lembaga-lembaga dana, menurut Myra adalah suatu konteks historis yang berfungsi mendukung, tapi sekaligus juga mempunyai potensi menjadi kendala. Lembaga dana menjadi kendala jika menciptakan kecenderungan untuk menciptakan ketergantungan. Ketergantungan dapat melemahkan gerakan masyarakat yang semula ditempa untuk mandiri, dan juga menimbulkan kompetisi dan persaingan.
3. Perempuan Dalam Kancah perjuangan
Selain itu, gerakan perempuan dihadapkan oleh masalah yang merupakan akumulasi limbah kebijakan Orde Baru. Energi individu dan kelompok yang mendukung Reformasi telah dikuras habis untuk menangani korban-korban budaya kekerasan. Korban-korban terus berjatuhan, di kalangan mahasiswa, di kalangan pengungsi, korban perkosaan, korban di wilayah konflik di seluruh Indonesia.
Masalah sosial politik yang berskala besar yang melanda seluruh Indonesia membuat kemajuan gerakan perempuan seakan-akan tidak berarti. Krisis ekonomi yang sedemikian buruk telah menghabiskan energi perempuan untuk sekadar bertahan hidup atau membantu keluarga, dan masyarakat lingkungannya untuk bertahan. Nyaris tidak tersisa energi untuk melihat permasalahan ekonomi dalam tingkatan makro, sedangkan para pakar ekonomi tidak punya kesadaran bahwa ekonomi di Indonesia bertumpu pada penghasilan perempuan. Mendukung pendapat Myra, Kamala Chandrakirana mengemukakan bahwa lapisan kecil komunitas prodemokrasi, yang mencakup gerakan perempuan, telah dibebani oleh berbagai macam permasalahan yang melebar ke segala penjuru. Kondisi demikian tidak memungkinkan dipilihnya satu fokus gerakan. Walaupun demikian, Kamala menunjukkan pentingya aliansi yang telah dilakukan oleh gerakan perempuan dengan gerakan prodemokrasi lainnya, seperti gerakan buruh, lingkungan, gerakan lintas agama, dan lain-lainnya. Aliansi-aliansi strategis ini bersifat sementara, dan dipakai untuk menghadapi satu isu penting bersama-sama, dan setelah itu masing-masing berjalan lagi sendiri. Aliansi sementara semacam ini merupakan suatu alat politik yang strategis. Dengan memakai aliansi sementara sebagai alat politik, perempuan dari kelompok yang berseberangan atau berbeda bisa duduk bersama untuk mencapai satu tujuan. Salah satu contoh aliansi adalah Komisi Perempuan Untuk Demokrasi di Surabaya yang menggabungkan perempuan aktivis dari berbagai kelompok, termasuk kelompok buruh dan kelompok kemanusiaan.
Selain munculnya aliansi-aliansi strategis tersebut, Kamala menunjukkan sejumlah gejala lain yang menunjukkan bagaimana gerakan perempuan mulai mengakar di Indonesia. Yang pertama adalah munculnya institusi-institusi baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sebagai contoh adalah pusat-pusat penanganan krisis untuk perempuan, yang saat ini telah didirikan oleh Fatayat NU sebanyak 27 buah di tingkat kabupaten. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan itu sendiri merupakan sebuah lembaga baru yang bukan LSM dan bukan pemerintah. Komisi ini bersifat independen dan mempunyai mekanisme yang bersifat nasional, mencakup elemen-elemen masyarakat di tingkat basis maupun unsur LSM dan pemerintah. Bentukan unik ini merupakan suatu contoh bagaimana perempuan mencari bentuk organisasi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Indikator lainnya adalah munculnya institusi sosial dengan poros gerakan di luar Jakarta, contohnya adalah Jaringan Kesehatan Perempuan Indonesia Timur, yang mencakup Kalimantan sampai Papua dan gerakan perempuan di Aceh melalui Deuk Pakat Inong Aceh dan Balai Syura. Contoh lain yang ditunjukkan oleh Ita F Nadia adalah Gerakan Perempuan Independen Sumatera Utara, yang meliputi sektor pertanian dan sektor informal di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Lembaga-lembaga lokal ini berfungsi sebagai "poros gerakan" karena menentukan agendanya sendiri yang berbeda dan terpisah dari Jakarta. Kalaupun ada jaringan kerja sama, maka kelompok perempuan di Jakarta hanya mempunyai posisi sebagai mitra kerja belaka. Kelompok-kelompok di daerah ini menghadapi kendala yang besar, tapi telah membuktikan kegigihan mereka dengan tetap maju setapak demi setapak. Sayangnya arena lokal adalah arena yang "tidak terlihat" oleh media massa maupun pengamat gerakan dari dalam dan luar negeri. Padahal menurut Kamala, justru dari gerakan-gerakan lokal ini terbukti bahwa gerakan perempuan mampu memainkan “Politik Peminis” Untuk Pembebasan.
D. Politik Peminis Untuk Pembebasan

1) Serangan terhadap hak-hak Perempuan.
Sejak berlakunya krisis ekonomi berkepanjangan 1970-an pemerintah dari berbagai negara di seluruh dunia telah mencoba untuk memotong upah dan pekerjaan, pelayanan sosial, dan kesejahteraan publik. Sementara subsidi dan potongan pajak bagi bisnis-bisnis besar terus meningkat . Hak-hak yang telah dimenangkan oleh pekerja, kelompok-kelompok perempuan, dan pendatang juga diserang. Untuk membenarkan serangan pada pelayanan anak publik, hak perempuan untuk pekerjaan dan pendidikan yang sama , dan pelayanan perempuan, arahan ideologis telah diakselerasikan oleh pemerintah-pemerintah itu untuk mendorong wanita kembali pada peranan istri, ibu dan buruh yang tak dibayar.

Saat ini banyak anak muda tertarik dengan hak-hak perempuan dan ide-ide feminis. Tetapi gerakan yang terorganisisr masih lemah. Kepentingan saja ternyata tak cukup untuk menghentikan agenda anti perempuan . selain beberapa kampanye yang bagus tak ada lagi kampanya yang besar sekarang. Tanpa melanjutkan aksi ini, kemenagan yang telah diraih akan hilang kembali. Saat ini gerakan berada dalam titik terendah sejak 1970-an, dan kita punya tugas mendesak untuk membangun kembali gerakan itu. Untungnya kita masih punya banyak kemenangan yang akan mempermudah perjuangan itu. Gerakan dimaksud, secara intensif menaikkan pengharapan dan kesadaran tentang hak-hak wanita- hal ini masih bisa dicatat pada tingkatan tinggi kesadaran feminis dasar hari ini, meskipun kesadaran ini telah tidur. Kita masih mempunyai banyk reformasi konkrit: hak formal untuk upah yang sama, kesempatan bekerja yang sama, kebebasan dari diskriminasi. Sangat sulit bahkan bagi pemerintahan liberal untuk secara terbuka mengambilnya kembali sekarnag, meskipun jalan juga terbuka bagi mereka untuk melakukannya.

2) FEMINISME LIBERAL.
Selama tahun 1980-an banyak kepemimpinan gerakan disuap dengan kedudukan-kedudukan dalam birokrasi pemerintah dan akademika (banyak di antaranya baru-dibuat untuk menempati sudut-sudut feminis) yang sering terikat degan pemerintah di negara-negara maju. Reformasi feminis yang dipaksakan dari sistem oleh gerakan massa digunakan oleh femisnis-feminis ini untuk menyimpangkan kritisme dari dukungan kuat kepada partai-partai berkuasa . Hal ini menimbulkan sejumlah kebijakan minus mengenai wanita, seperti bayaran untuk pendidikan yang lebih tinggi, pemotongan pekerjaan dan serangan pada hak berserikat; menolak untuk mengambil posisi partai dalam hak aborsi; Banyak aktivis feminis dari kelompok yang militan dalam awal gerakan ,menjadi terjebak dalam kerja kesejahteraan yang dibiayai oelh pemerintah dan sering secara politik berkompromi karena ketakutan dananya ditarik.

Keindependenan politik gerakan pembebasan perempuan diragukan. Kaum Femokrat (feminis demokrat) dan politik perempuan secara aktif mendemobolisasi kampanye mengancam kekuatan elektoral partai yang berkuasa (sumber dana mereka dan jalan karir mereka). Dan metode lobi dan perspektif reformis disemangati oleh feminis-feminis ini, yang bekerja untuk mencegah segala pukulan radikal dari buruh, menjadi lebih dan lebih dominan dalam gerakan.

Proses yang sama dalam pemilihan anggota diterapkan pada serikat buruh tahun 1980-an melalui persetujuan harga dan pendapatan. Hal ini kemudian memperlemah gerakan pembebasan perempuan sebagaimana serikat gagal memobilisasi melawan serangan yang lebih luas terhadap persoalan-persoalan seperti hak buruh dan derma.

Hari ini, sementara banyak perempuan masih berbicara tentang hak yang sama dan perlunya organisasi feminis, mereka telah meninggalkan proyek pembangunan gerakan massa pembebasan perempuan yang bertujuan dan mempunyai kekuatan untuk menaikkan kondisi semua perempuan. Dalam praktisnya, mereka mendukung kampanya sepanjang itu tak dapat menentang kepentingan mereka sendiri yang mengalir dari posisi istimewa yang sekarang mereka pegang.

Feminis liberal mempunyai akses yang jauh lebih besar terhadap uang, media dan pembuat keputusan kebijakan publik daripada kelas pekerja perempuan atau orang kiri. Dan keberadaan media massa dan partai politik hanya terlalu bergelora untuk mempromosikan transformasi feminisme dari basis yang luas, gerakan militan melawan penindasan perempuan dan untuk transformasi kolektif masyarakat, kedalam suatu fokus pada hak-hak individu, pencapaian individu dan solusi individu yang sedikit demi sedikit tanpa menantang struktur fundamental atau elit penguasa, akan membuat sedikit perempuan meningkatkan peran mereka dalam mereformasi status quo. Satu contoh dari perspektif ini adalah buku kedua Naomi Wolf Fire with Fire dimana ia menunjukkan pentingnya "feminisme kekuatan" pada tahun 1990-an. Perempuan sudah "kuat", katanya, karena mereka memegang lebih dari 50 % suara di AS, karena "sekarang ada 2, 339 juta perempuan AS dengan pendapatan pertahun lebih dari $50.000" dan karena mereka menempati 80% pengeluaran konsumen. Kita hanya perlu menghentikan buku Wolf langsung pada keistimewaan yang seperti dirinya sendiri akan diterima kedalam kemapanan pria, bahkan mungkin ke dalam kelas berkuasa sejati, bila mereka memakai "femisisme " mereka .
Namun, demikian tantangan terhadap feminisme liberal sejak tahun 1980-an dapat dikatakan tidak ada gerakan terorganisir yang cukup kuat untuk menantang feminisme liberal. Seluruh kampanye besar sebenarnya telah disubordinasikan pada perwakilan untuk melobi partai buruh; sementara yang lainnya disuruh pulang dan menulis surat.

Pawai dan reli pada hari Perempuan se Dunia setiap tahun hanyalah satu-satunya mobilisasi tahunan besar dengan kerangka kerj yang cukup besar untuk merepon setiap serangan terhadap hak-hak perempuan dan menaikkan sejumlah tuntutan; Tetapi even ini gagal untuk menggambarkan orang pada aksi yang sedang berlangsung. Mereka yang selalu mencoba untuk membangun gerakan bagi pembebasan semua perempuan menemui tantangan besar dari mengambil kepemimpinan gerakan dari feminis liberal.

Perspektif feminis liberal semakin tak berguna dalam menanggapi serangan yang terakselerasi terhadap wanita oleh pemerintah.Tetapi suatu gerakan yang lemah, terdominasi untuk menantang sernag ideologi dari kelas pengiuasa telah menghasilkan dalam suatu kemurtadan kesadaran feminis umum. Kebutuhan menjadi feminis secara keseluruhan diuji lebih luas, dan iede-ide sexis lebih bisa diterima. Sementara pengakuan ketidaksetaraan perempuamasih cukup tinggi dalam masyarakat, suatu pengertian mengapa ini persoalan dan bagaimana melawannya.

Hal ini membuat banyak perdebatan baru muncul dalam putaran feminis terutama penting dan mendesak. Kita harus mengambil keuntungan dari perjuangan yang masih kita miliki, untuk mendorongnya. Ada diskusi besar diperlukan tentang bagaimana cara melakukannya.

3) Trend Feminis saat Ini
Di antara mereka yang menolak liberal feminisme sebagai titik akhir untuk perubahan saat ini ada tiga trend besar: Feminisme Marxis, Feminisme Post Modernis dan Feminisme Radikal. Kami, Resistence adalah bagian dari trend yang pertama dan percaya bahwa yang dua lainnya adalah kontraproduktif pada tujuan untuk mendirikan kembali gerakan yang diperlukan untuk mencapai pembebasan perempuan.

Banyak feminis akan mengedepankan suatu campuran pillihan dari pendekatan feminis. Dan banyk feminis masih sangat dipengaruhi oleh individualisme liberal. Hal ini dikarenakan terutama pembelokan gerakan dan kekuatan konserfatif dominan dalam masyarakat dan secara umum telah membelokkan kepercayaan tentang aksi kolektif dan sebenarnya menjadi mampu untuk merubah sistem yang menindas perempuan.

Berbagai trend feminisme:

1) Feminisme Marxis
Tak seperti feminisme liberal, feminis Marxis percaya bahwa kapitalisme hanya dapat membuat "sukses" untuk sejumlah kecil perempuan. Dan sejarahnya ia hanya membuat demikian dibawah tekanan dari bawah. Kesetaraan penuh bagi semua perempuan tak bisa dicapai di bawah kapitalisme. Pembebasan individual adalah mustahil karena seksisme adalah persoalan sosial yang berhembus dari penindasan institusional terhadap perempuan dalam kapitalisme. Kapitalisme berdasarkan pada peranan sedikit orang yang berkuasa yang memiliki semua sumber ekonomi dan industri, diluar kita semua yang dipaksa untuk kerja upahan untuk hidup-kelas pekerja. Sistem ini alat untuk kebutuhan minoritas, untuk pengejaran keuntungan dan karenanya menimbulkan perampasan, eksploitasi, dan penindasan (dalam segala bentuk) dari mayoritas. Dan setiap institusi besarnya mendukung bahwa: pemerintah, keluarga, media, polisi, sistem pendidikan, dan sistem legal.

Sebenarnya, satu-satunya jalan bagi perempuan, dan semua kaum tertindas untuk memenagkan pembebasan adalah dengan melawan untuk sebuah sistem baru yang demokratik- masyarakat yang berfungsi untuk menemukan kebutuhan mayoritas orang dan lingkungan lebih baik dari minoritas yang haus keuntungan.

Satu-satunya kekuatan yang mampu untuk membuat masyarakat sosialis baru ini adala kelas pekerja, membuat semua kesejahteraan masyarakat. Pertempuran melawan penindasan lain yang memisahkan kelas pekerja-rasisme,seksisme, penindasan bangsa-adalah tak dapat dihindarai untuk menggulingkan kapitalisme karena kelas pekerja yang terbelah tidaklah cukup kuat untuk mengalahkan kelas kapitalis yang sedang berkuasa. Penindasan perempuan adalah bagian yang esensial dari sistem kapitalis.

Seksisme pernah dibenarkan, menopang suatu institusi yang penting bagi kapitalisme:keluarga. Keluarga mengizinkan kelas berkuasa untuk menghapuskan semua tanggung-jawab bagi kesejahteraan ekonomi dan perawatan pekerja mereka dan menimbulkan pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas dengan mengizinkan pemilikan properti dari satu generasi ke generasi lainnya dalam kelas mereka.

Unit keluarga individual menjaga para pekerja berkompetisi untuk bertahan hidup, mndorong pembagian sosial buruh berdasarkan penaklukan dan ketergantungan ekonomi perempuan, dan membantu untuk mensosialisasikan generasi baru dalam hubungan otoriterian hirarki yang diperlukan untuk membuat kelas pekrja tetap pasif.
Seksisme membuat perempuan bekerja keras mengurusi pekerjaan rumah tangga, semuanya dilakuakn dengan gratis. Ia menyebabkan majikan untuk menggaji perempuan lebih sedikit.

Semua perempuan tertindas sebagai perempuan, tetapi dampak penindasan itu berbeda bagi perempuan pada kelas yang berbeda.

Perjuangan seputar aspek-aspek spesifik dari penindasn perempuan memerlukan terlibatnya perempuan dari latar sosial berbeda. Tetapi gerakan masa pembebasan perempuan Marxis bertujuan untuk mendirikan akan menjadi dasar kelas pekerja dalam komposisi,orientasi, dan kepemimpinan karena hanya sebuah gerakan bisa meraih pembebasan perempuan sejati.

Gerakan feminis massa, yang berjuang bagi kesetaraan bagi semua perempuan, tak dapat dihindarkan lagi membutuhkan reorganisasi total dalam masyarakat dalam kepentingan minoritas, yaitu membuka kapitalisme.

Sebuah gerakan akan menuntut: hak bagi perempuan untuk mengontrol tubuh mereka sendiri: legal penuh, kesamaan politik dan sosial; hak untuk merdeka secara ekonomi dan kesetaraan, kesempatan studi yang setara,hak untuk bebas dari kekerasan dan eksploitasi, dan bebas dari penindasan seksualitas manusia.

Hanya masyarakat sosialis yang bisa memenuhi tuntutan ini: memindahkan paksaan ekonomi dibalik perbudakan perempuan dalam keluarga; mengambil pertanggung-jawaban sosial bagi tugas-tugas yang tadinya dilakuak dengan gratis oleh perempuan dalam rumah; memindahkan eksploitasi kelas.

Dibawah sosialisme sebagian besar manusia baik perempuan atau laki-laki akan menikmati eliminasi penindasan perempuan sebagaimana masih akan membiarkan perkembangan penuhhubungan kebutuhan manusia bebasa dari distorsi seksisme dan pengasingan seksualitas yang dibuat oleh masyarakat kelas.

Sosialisme juga satu-satunya sistem yang bia meniadakan penindasan lain yang diderita banyak perempuan, seperti rasisme, dan eksploitasi dunia ketiga oleh bangsa imperialis maju. Perempuan tak bisa memenagkan masyarakat baru inni dan pembebasan mereka tanpa bergabung dengan perjuangan pembebasan lain-dan dengan kelas pekerja secara keseluruhan.

Laki-laki sebagai individual maupunkelompok, mempunyaikepentingan material dalam dan menikmati penindasan terhadap perempuan. Sebagai kelamin mereka mempunyai akses yang lebih baik ke pendidikan,pekerjaan dan upah yang lebih baik; mereka tak memikul dua beban kerja upahan dan buruh domestik gratis; karena situasi ekonomi mereka yang lebih baikmereka mempunyai akses seksual terhafdap perempuan, melalui indistri seksual. Penindasan perempuan dalam masyarakat sosial membawa laki-laki menerima keistimewaan yang melembaga dan keuntuntungan terhadap perempuan.

Bagaimanapun penindasan perempuan berjalan memukul kepentingan kelas laki-laki kelas pekerja karena ia memisahkan kelas pekerja dan memperlemah kemampuan mereka untuk nberjuang dan menggulingkan sang penindas, kapitalis.

Tetapi sampai laki-laki kelas pekerja mengembangkan kesadaran kelas-sampai mereka menyadarikepentingan kelas mereka diatas kepentingan mereka sebagai individu, dan karenanya mengerti kebutuhan untuk bergabung dengan kaum feminis bertempur melawan seksisme- mereka akan meletakkan kepentingan mereka sebagai anggota kelas berkuasa dahulu.

Perjuangan Marxis untuk mengembangkan kesadaran ini dalam kelas pekerja karena analisis mereka membawa mereka untuk mengerti bahwa perjuangan oleh perempuan melawan penindas mereka sebagai perempuan dan perjuangan untuk menghilangkan ketidaaksetaran kels berjlan terus.

Tetapi ini bukan berarti bahwa perempuan harus menunda perjuangan mereka sampai "setelah revolusi". Sebalinya hubungan yang erat antara penindasan gender dan kelas memberikan kepada perjuangan sosialisme sebuah perjuangan terpadu juga: "tak ada revolusi sosialis tanpa pembebasan perempuan, tak ada pembebasan perempuan tanpa revolusi sosialis"

2) FEMINISME POST MODERN
Post modernisme adalah teori yang dihasilkan dari kemunduran dan demoralisasi:
Pelemahan gerakan pembebasan perempuan tahun 1970-an dan kemunduran yang luas dari gerakan kiri di seluruh dunia, setelah runtuhnya "komunisme di eropa timur dan Uni Soviet. Post modernisme adalah bentuk dimana liberalisme menemukan penyewaan baru pada hidup dinegara kapitalis maju sejak akhir 1980-an.

Pada tempat fokus gerakan pertama terhadap pengalaman umum perempuan terhadap penindasan, post modernisme menekankan perbedaan : perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan antara perempuan sendiri, bauk berdasarkan ras, kelas, agama, etnik atau psikologis.
Politik "perbedaan" mempertahankan bahwa karena mereka yang yang telah memimpin atas nama ilmu pengetahuan dan kemajuan di dalam masyarakat ini mempunyai kelompok marginal yang tereksploitasi (termasuk perempuan).

Menentang dirinya sendiri pada "penguniversalan" pengetahuan ilmiah dan pengalaman sejarah, feminisme post modern.
Menentang bahwa semua orang mengamati, mengerti dan merespon segala persoalan secara berbeda. Tak ada yang contoh mutlak dalam masyarakat. Secara khusus, dari kenyataan bahwa daya tangkap manusia dunia melalui perantaraan bahasa, post modernisme telah kenyataan menjadi ribuan pecahan.

Dalam prakteknya ini berarti bahwa setiap orang harus melakukan persoalan mereka sendiri, percaya dan menghargai individualitas dari pengalaman mereka dan ide-ide mereka, dan (seharusnya) menghormati individualitas orang yang lain. Penindasan ekonomi dan psikologi oleh semua perempuan dibagikan oleh semua perempuan keluaran dari keadaan.

Sementara Marxis juga akan bertanya netralitas dari ilmu pengetahuan atau alasan atau kemajuan dibawah kapitalisme, kita berfikir bahwa keadaan realitras objektif, sebagaimana ide-ide dan teori mampu menjelaskan hukum dengan siapa fungsi realitas objektif.Tujuan kita adalahuntuk mengenali dan mempelajari kenyatan ini dalam rangka untuk merubahnya.

Tetapi bagi kaum post modernis, pembebasan itu terpisah dari perjuangan lain untuk merubah masyarakat, dan menjadi perjuangan individual dan subjektif.

Terlebih, setiap seruan pada realitas objektif, termasukpengalaman umum, terlihat sebagai penindasan pandangan personal orang lain. Jadi berbicara penindasan sistematis atau kebutuhan untuk bersatu untuk melawannya disadari tak hanyatak dapat diminta tetapi penindasan.

Post modernisme adalah isu utama perdebatan pada konferensi NOWSA tahun 1994.Sementara banyak orang akan dengan bangga mencap dirinya sendiri sebagai post modernis sekarang, asumsi dasar entang post moderrnisme adalah hidup dalam studi perempuan dan diantara aktivis kampus.

Ide yang tak dapat kamu katakan bagi setiap kelompok yang tertindas bahw kamu bukanlah bagian dari ide bahwa hal yang terpenting untuk kamu lakukan adalah untuk "mendefinisikan"

Ide bahwa lebih penting untuk membicarakan seberapa berbedanya perempuan satu sama lain, dan bagaima perempuan kelas menengah kulit putih mendominasi gerakan, daripada membicarakan pengalaman umum perempuan dan apa yang harus dilakukan tentang itu;dan

Ide tentang bagaimana kmu rasa tentang hal-hal yang kamu lihat atau alami membedakan apakah itu penindasan atau bukan. Mengikuti kesimpulan logikal mereka, ide ini bermaksud bahwa setiapusaha untuk mengenali dan mengerti penindasan perempuan, dan untuk bersatu dan melawannya adalah pasti. Post modernisme mempunyai dampak destruktif ketika mendirikan gerakan melawan penindasan perempuan.

3) FEMINISME RADIKAL

Feminisme radikal berlawanan dengan individualismenya post modernisme, menawarkan analisis struktural terhadap penindasan perempuan dan solusi sosial-meskipun salah.

Feminiusme radikal mengatakan bahwa sistem dominasi laki-laki terhadap perempuan-apa yang mereka sebut "patriakal"-datang dari perbedaan biologi antara jenis kelamin,khususnya peran perempuan dalam reproduksi .

Perbedan essensial ini, kata mereka adalah basis material dari perempuan selalu dipandang dan diperrlakukan oleh laki-laki sebagai objek sosial.

Karena laki-laki tak mengalami penindasan kelamin, mereka tak akan mungkin mengerti dan secara konsisten berjuang untuk pembebasan perempuan. Dari kenyataan bahwa setiap laki-laki menikmati manfaatdari penindasan perempuan, mereka menyimpulkan bahwa laki-laki adalah sumber penindasan perempuan dan adalah musuh utama laki-laki.

Konklusi logis dari feminisme radikal adalah praktel politik yang terpisah, dimana pria mempunyai sedikit atau tidak peranan untuk dimainkan dalam pembebasan permpuan. Mereka menentang partisipasi laki-laki dalam rally-rally dan konferensi-konferensi menuntut hak perempuan , dan sering mengajukan lesbianisme sebagai seksualitas konsisten secara politik bagi kaum feminis.

Dalam masyarakat kapitalis, seksisme dijustifikasi oleh ide bahwa penindasan perempuan adalah alami atau tak dapat terhindarkan. Halini adalah dalam rangjka untuk menutupi struktur sosial yang menindas perempuan dan menumpulkan gerakan apapun dan merubahnya. Dengan melokalisir sumber penindasan perempuan dalam biologi perempuan dan laki-laki, feminisme radikal menerima ide bahwa seksisme itu tak terhindarkan dan dalam hal ini ia adalah juga politik kekalahan yang mendemoralisasikan gerakan feminis.

Dalam mencari solusi sebagai separatisme ia juga mengisolasi gerakan, baik dengan pengasingan dengan kelompok tertindas lain dan dari massa yang mendukung diantara perempuan.

Feminisme radikal sebagai trend telah ada sejak awal 1970-an, tetapi dalam menghadapi dominasi feminisme liberal dan membelokkan gerakan, ia muncul ke akademia dan studi perempuan. Sebagaimana feminisme liberal gagal untuk menghasilkan kesetaraan feminisme radikal menjelaskan tentang penindasan dan pembebasan perempuan telah dimunculkan kembali dan mempunyai seruan spesial yang mendesak bagi perempuan yang baru teradikalisir..

Karena sebagian besar perempuan langsung mengalami seksisme datang dari tangan laki-laki secara individual, atau karena mereka melihat kaum laki-laki menikmati penindasan perempuan dan status perempuan, ide bahwa pria adalah persoalan tak terhindarkan lagi menjadi kesimpulan bagi para feminis.

Tetapi dengan membangun teori yang secara biologis menunjukkan dominasi pria, feminis radikal gagal untuk menjelaskan karakter sosial penindasn perempuan. Hal ini mengabaikan kenyataan bahwa kelas pekerja perempuan dan laki-laki mempunyai kepentingan yang sama dalam menggulingkan masyarakat kapitalis.***

D. Kesimpulan
1. Untuk mewujudkan perempuan yang cerdas dalam dunia politik maka harus melibatkan semua pihak untuk memahami norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjuangan perempuan dalam membangun bangsa dan negara baik masa lalu masa kini dan akan datang.
2. Dunia politik bukan hanya menjadi milik kaum pria dan bukan hanya perebutan kekuasaan, melainkan juga mengandung misi memperjuangkan, melindungi dan menjamin hak-hak masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
3. Perempuan harus cerdas berpolitik sehingga tidak menjadi korban politik baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

D. Kepustakaan
Diambil dari berbagai sumber melalui Internet, WWW. Yahoo.Com tanggal 3-4 Pebruari 2005



RUMPUN Tjoet Njak Dien, bagian dari perkumpulan RUMPUN, didirikan pada tanggal 19 April tahun 1995, sebagai kelanjutan dari Forum Diskusi Perempuan Yogyakarta yang dibentuk pada tahun 1989.

Berdirinya RUMPUN Tjoet Njak Dien (RTND) berangkat dari solidaritas, keprihatinan dan itikad menangani bersama persoalan yang dialami oleh Pekerja Rumah Tangga. Pekerja Rumah Tangga ( selanjutnya disebut PRT) yang mayoritas perempuan adalah salah satu segmen kaum perempuan miskin yang mengalami kelengkapan manifestasi ketidakadilan gender .

Selama ini PRT tidak diakui keberadaannya sebagai pekerja oleh pemerintah dan begitulah halnya Pemerintah dalam kebijakan tidak menyentuh keberadaan PRT. Meski kehadiran PRT sangat dibutuhkan, namun apresiasi atas kontribusinya sebagai pekerja sangat rendah. Hal ini sangat ironis, mengingat kontribusi ekonomi yang diberikan oleh PRT sangat besar untuk beberapa juta keluarga. Kontribusi ekonomi tersebut nyata mengingat keberadaan jasa PRT sangat berperan bagi kelancaran aktivitas kehidupan keluarga terutama bagi pasangan yang keduanya bekerja di sektor publik. Tugas-tugas domestik digantikan oleh Pekerja Rumah Tangga.

Struktural dan kultural, patriarkhis yang beririsan feodal - kelas menjadi faktor utama lahirnya pelanggengan segala problem multidimensi kekerasan yang dialami PRT. Baik problem dari asal wilayah – keluarga dan lingkungannya, ataupun problem di wilayah kerja dalam hubungan dengan majikan, lingkungan sosial yang terkecil hingga lingkungan sosial terbesar.
Stereotype patriarkhi telah menyebabkan perempuan, dan apa saja yang dilakukan serta perannya, sebagai hal-hal yang negatif dan rendah. Seperti halnya penciptaan label kerja domestik yang dianggap rendah dan yang diarahkan menjadi kewajiban perempuan sebagai ibu, istri dan anak perempuan. Maka pekerjaan domestik tidak perlu dihargai. Dan lebih parah lagi, marginalisasi perempuan telah membatasi wilayah perempuan pada sector domestik, yang sudah sengaja dibuat tidak bernilai tersebut dan dikuatkan dengan pandangan yang menilai kerja domestik tidak menghasilkan produksi, sehingga tidak berupah. Yang kemudian dikuatkan juga oleh struktur dan kultur feudal bahwa pekerja rumah tangga diisi oleh warga lapisan bawah, dengan tingkat social dan ekonomi dan pendidikan rendah yang memang harus menurut aturan kelas diatasnya. Dan ini adalah perempuan miskin.

Oleh karena itu, pekerjaan rumah tangga, dalam pemindahan subyek pelakunya dari perempuan anggota keluarga ke pihak lain yang menjalankan pekerjaan tersebut seperti Pekerja Rumah Tangga, terjadi pemindahan marginalisasi, subordinasi yang lebih parah sebetulnya ke perempuan lain yang lebih miskin.

Kondisi bertambah buruk pula, dialami oleh Pekerja Rumah Tangga yang mayoritas perempuan miskin, adalah kaitannya dengan isolasi yang dialami di wilayah kerjanya yang dianggap sebagai sector privat yang oleh majikan dan masyarakat tidak membolehkan adanya intervensi. Sementara perempuan selalu dilemahkan dan menjadi objek kekerasan, maka Pekerja Rumah Tangga rentan terhadap kekerasan didalam rumah tangga – keluarga dimana PRT bekerja. Dan tidak hanya di wilayah kerja namun juga diwilayah social yang lain masyarakat dilingkungan tempat bekerja dan secara lebih luas hingga negara semua mendiskriminasikannnya termasuk dalam pemenuhan hak-haknya sebagai perempuan, pekerja, warga negara dan manusia.

Pelanggaran hak-hak Pekerja Rumah sebagai perempuan, pekerja dan warga negara dan manusia dengan peniadaan atau pembatasan haknya atas akses dan kontrol informasi, pendidikan, sosial, ekonomi, hukum dan politik mengakibatkan: Posisi PRT sebagai obyek kekerasan, baik sebagai perempuan, pekerja, warga negara dan manusia. Pekerja Rumah Tangga perempuan tidak memiliki otoritas, kemerdekaan atas dirinya dalam menentukan pilihan atas tubuhnya, social, ekonomi, politik dan sebagainya. Pekerja Rumah Tangga perempuan dan mayoritas perempuan lemah dalam posisi tawar baik dalam hubungan kerjanya ataupun relasi sosialnya. Pekerja Rumah Tangga tidak memiliki akses untuk penguatan dirinya baik ditingkat individual ataupun kolektif secara sistematis, terutama akses pendidikan, akses informasi – komunikasi, akses ekonomi, akses social, akses hokum, akses politik. Persoalan kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga dan mayoritas perempuan akan selalu berkelanjutan dengan kondisi yang demikian, yaitu penindasan yang berkelanjutan

Gambaran Problem Pekerja Rumah Tangga

Berdasarkan data yang dihimpun baik melalui temuan lapangan (data pengalaman RTND) dan hasil penelitian serta literature dapat dilihat gambaran kondisi latar belakang dan besaran problem PRT adalah berikut.

Persoalan Keberangkatan
Kemiskinan
Kemiskinan menjadi kemiskinan multidimensi dari miskin informasi, miskin, pendidikan, miskin social dan miskin akses lainnya
Pendidikan
Khusus akibatnya menjadi miskin pendidikan dan miskin informasi dan selanjutnya menjadikan PRT miskin berkelanjutan


Persoalan Kerja - Umumnya

Upah yang Rendah
Tidak Ada Batasan Beban Kerja Yang Jelas dan Layak
Jam Kerja yang Panjang
Kesehatan
Kedudukan PRT yang Subordinatif dalam Hubungan PRT dengan Majikan
Tidak Ada Pengakuan atas Profesi PRT – Tidak Ada Perlindungan Hukum – PRT Rentan Tindak Kekerasan
Eksploitasi oleh Agen Penyalur PRT
Tidak Ada Kesempatan untuk Pengembangan/Aktualisasi Diri
Tidak ada atau kurangnya Akses Pendidikan – Informasi untuk Pengembangan dan Mempekruat Diri
Ada permasalahan besar dalam akses pendidikan – informasi untuk PRT:
Ketiadaan kesempatan karena larangan majikan dan jam serta beban kerja yang tidak terbatas;
Kurangnya jenis pendidikan yang merupakan perpaduan antara pendidikan kritis yang berangkat dari persoalan PRT
Keterbatasan PRT dalam menjangkau layanan pendidikan kritis dan skill yang ada

Akses pendidikan – informasi ini adalah “pintu gerbang” atau salah satu “pilar” PRT untuk melakukan perubahan atas kondisinya, membangun posisi tawarnya, mulai melakukan langkah untuk perubahan menuju keadilan – kesetaraan sebagai perempuan, pekerja, warga negara dan manusia.

Ketiadaaan atau kurangnya akses pendidikan – informasi berakibat multidimensi dan berkelanjutan; ketertindasan, eksploitasi, marginalisasi dan kemiskinan berkelanjutan. Ketiadaan atau kurangnya akses pendidikan – informasi yang telah dialami PRT dari keberangkatannya tidak akan mengalami perubahan signifikan untuk pengembangan dirinya ataupun perubahan social, apabila layanan pendidkan kritis dan skill tidak mulai dibangun dan kemudian dikembangkan.

Dapat djumpai dalam pendampingan yang dilapangan ataupun survai yang kami lakukan, akibat langsung dari ketiadaan atau kurangnya akses pendidikan tersebut adalah:
PRT tidak atau kurang mengetahui bagaimana mereka mengatasi pekerjaan mereka yang penuh dengan persoalan, tindakan apa yang harus dilakukan jika terjadi kesewenangan dan kekerasan.

Pilar lain yang mendasar pula diperlukan PRT adalah pengakuan dan perlindungan hukum Pekerja Rumah Tangga baik ditingkat local ataupun nasional. Pengakuan dan perlindungan ini adalah yang substansial membongkar adanya ketidakadilan terhadap perempuan dalam stereotype pekerjaan dan juga memberi jaminan perlindungan kepada perempuan yang bekerja di sector domestik, yang memang mayoritas hingga saat ini perempuan, termasuk hak untuk mengakses hak ekonomi, pendidikan, informasi, social, hukum.

Akibat
Akibat atau dampak tidak langsung dari ketiadaan 2 pilar utama terhadap kawan PRT adalah pelanggaran yang berkelanjutan dan meluas atas hak-hak Pekerja Rumah sebagai perempuan, pekerja dan warga negara dan manusia:

PRT menjadi obyek baik sebagai perempuan, pekerja, warga negara dan manusia Pekerja Rumah Tangga tidak memiliki otoritas, kemerdekaan atas dirinya dalam menentukan pilihan
PRT sulit mencapai situasi sejahtera dan yang terjadi kemiskinan keberlanjutan, tidak ada atau minim akses pendidikan, ekonomi, sosial, hukum dan politik
PRT lemah dalam bargaining baik dalam hubungan kerjanya ataupun relasi sosialnya
Tidak terbangun kesadaran dan tindakan kritis secara kolektif untuk melakukan perubahan sosial
PRT tidak mengenal status sesungguhnya sebagai pekerja dalam arti sebagai pekerja rumah tangga dan hak - kewajiban yang melingkupinya
PRT mejadi korban kekerasan yang berkelanjutan

Berbagai persoalan yang dialami PRT sulit diungkap karena mereka bekerja di wilayah privat, tinggal dalam lingkungan rumah majikan yang minim kontrol sosial dan akses pertolongan. Hanya beberapa kasus PRT yang terpublikasikan, antara lain beberapa kasus PRT yang sangat menonjol pada tahun 2001- 2004 di beberapa kota besar di Indonesia, di Jogjakarta (Kasus: Semisih – penganiayaan fisik, 2001, Sutini penganiayaan fisik, 2002), Jakarta (Kasus: Ponirah – bunuh diri dengan membakar; Jumiati – rekan Ponirah, karena mereka tidak tahan dianiaya; Utin – yang dianiaya fisik; Haryanti – korban perdagangan dan penganiayaan fisik, 2001-2002, Awari, Zumrotun, Nurhayati – luka parah, 2003, Karsih – luka parah, Maryati - dibunuh, 2004) dan di Surabaya (Kasus: Sunarsih – meninggal dianiaya; Sisamah; Halimah, 2001 dan Ratih, 2002 – masuk rumah sakit karena dianaya fisik juga), di Solo (N - pemerkosaan, 2004) dan juga di kota lain. Bisa diperkirakan kasus tersebut adalah kasus yang baru diketahui publik karena tingkat kekerasannya sudah sangat berbahaya dan sampai menghilangkan nyawa. Diperkirakan bahwa karena wilayah kerja Pekerja Rumah Tangga yang dianggap wilayah privat dan tidak ada intervensi hukum maka bisa jadi banyak tindak kekerasan yang dialami oleh PRT yang tidak diketahui oleh publik. Terlebih pula bagi Pekerja Rumah Tangga yang tinggal dalam lingkungan rumah majikan yang serba dikelilingi bangunan fisik yang tinggi, besar serta lingkungan masyarakat sekitar yang jarang bertemu dan semakin individualis, maka kontrol sosial tidak ada dan akses pertolongannya lebih sulit.

Situasi Sikap Masyarakat dan Negara
Struktur – kultur sosial – negara yang patriarkhis, feodal – seperti dikemukakan di atas, maka pandangan dan sikap masyarakat - negara (eksekutif dan legislatif) terhadap PRT sebagai perempuan, pekerja, warga negara dan manusia, berbagai ragam, namun sebagian besar: diskriminatif, merendahkan, kurang atau tidak mengetahui persoalan PRT yang sesungguhnya, merasa berat untuk melakukan perubahan meski tahu persoalan PRT. Karena pula di sisi lain, ada perbenturan kepentingan para pengambil kebijakan yang umumnya adalah majikan yang berkepentingan atas PRT.

Karenanya persoalan dan mengemukanya kasus-kasus kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga, seperti yang dialami beberapa Pekerja Rumah Tangga tidak menggerakkan juga langkah kongkrit dari negara dan juga publik akan perlunya jaminan dan perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga. Hal ini menjadi tantangan pemberdayaan dan advokasi dengan melihat peta persoalan konstituen, stakeholder bahwa strategi pemberdayaan dan advokasi harus melihat pada karakter dan situasi internal dan eksternal PRT, kekuatan dan peluang yang bisa dihimpun. Misal dengan mengkampanyekan betapa pentingnya PRT dan kontribusi ekonominya, betapa vitalnya PRT pada kehidupan jutaan keluarga majikan untuk bisa mencari pendapatan karena ada tenaga pengganti di sektor domestik, sementara fasilitas pengganti kebutuhan domestik tidak bisa dipenuhi oleh pemerintah, perusahaan, seperti salah satunya tempat penitipan anak yang murah dan terjangkau.

Usaha yang Dilakukan untuk Menjawab Persoalan
Sebagai manusia, pekerja, apapun latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, asal, ras, pilihan profesi dan bidangnya, serta apapun jenis kelaminnya, sudah seharusnya mendapat penghormatan, perlindungan akan hak-hak asasinya sebagaimana prinsip-prinsip universal hak asasi manusia. Namun penghormatan, penegakan - perlindungan yang demikian, tidak terjadi pada diri Pekerja Rumah Tangga ini. Upaya-upaya serius musti dilakukan oleh berbagai pihak secara simultan dan komprehensif. Upaya yang dilakukan harus mampu menjawab kepelikan permasalahan PRT untuk mendapatkan hak-hak dan aksesnya.

Berangkat dari persoalan PRT dan situasi sikap-pandangan kelompok sosial yang terkecil hingga terbesar diatas, maka RUMPUN Tjoet Njak Dien berusaha bersama PRT dan mengajak segala pihak melakukan advokasi PRT, antara lain:
Kampanye
Legislasi
Pengorganisasian

Hingga kini proses pengorganisasian yang dilakukan RTND di DIY bersama-sama PRT, yang dimulai dari komunitas-komunitas kerja PRT, dari terbangunnya OPERATA (Organisasi Pekerja Rumah Tangga) telah memunculkan berdirinya Serikat PRT TUNAS MULIA pada tahun 2003, dan aktif melakukan advokasi hingga sekarang. Selanjutnya dikembangkan dalam program kegiatan PRT Center yang lebih terpadu sejak Mei 2003 dengan output model pendidikan Alternatif PRT.

Pengorganisasian PRT yang dilakukan adalah proses yang teramat sulit. Kesulitan pengorganisasian adalah juga cermin dari situasi sosial problem PRT dan karakteristik kerja PRT sendiri. Banyak kendala sekaligus juga tantangan yang dihadapi. Disini, terus meneruskan memerlukan eksplorasi akan strategi pengorganisasian PRT.

Dalam pendidikan publik dan legislasi kebijakan publik untuk ketenagakerjaan PRT, RTND bersama-sama dengan PRT dan Jaringan Perlindungan PRT DIY dan Jala PRT (Jaringan Nasional Advokasi PRT) aktif melakukan legislasi kebijakan publik untuk perlindungan PRT.

Begitu pula dalam kampanye, mengingat isu PRT tidak populer, sebaran keberadaan PRT yang luas, RTND berusaha untuk membuat media kampanye yang populer, mobilized dan melibatkan multistakeholder.

Belakangan ini istilah 'Feminisme' mulai mencuat di Indonesia sejalan dengan gerakan Reformasi yang sudah bergulir. Dari 'Suara Ibu Peduli' yang membela kaum ibu yang jadi korban krisis ekonomi, kaum buruh perempuan khususnya pembelaan atas 'buruh wanita Marsinah' suara itu bergulir terus, bahkan KIPP dalam rangka Pemilu tidak lupa menganalisis partai-partai mana yang membela kaum wanita. Semua ini menunjukkan adanya riak-riak Feminisme yang mulai menampakkan kehadirannya di Indonesia.
MENGAPA ADA FEMINISME ?
Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriachal sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropah dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya dapat dijabat oleh pria. Banyak kotbah-kotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai mahluk yang harus 'tunduk kepada suami!' (Efs.5:22) dengan menafsirkannya secara harfiah dan tekstual seakan-akan mempertebal perendahan terhadap kaum perempuan itu.
Dari latar belakang demikianlah di Eropah berkembang gerakan untuk 'menaikkan derajat kaum perempuan' tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul 'Vindication of the Right of Woman' yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-40 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki.
Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era reformasi dengan terbitnya buku 'The Feminine Mystique' yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama 'National Organization for Woman' (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya 'Equal Pay Right' (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan 'Equal Right Act' (1964) dimana kaum perempuan mempuntyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang.
Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus, soalnya sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah 'Student for a Democratic Society' (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok 'feminisme radikal' dengan membentuk 'Women's Liberation Workshop' yang lebih dikenal dengan singkatan 'Women's Lib.' Women's Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya 'Miss America Pegeant' di Atlantic City yang mereka anggap sebagai 'pelecehan terhadap kaum wanita' dan 'komersialisasi tubuh perempuan.' Gema 'pembebasan kaum perempuan' ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia.
Melihat etikad baik kaum perempuan ini sebenarnya gerakan ini semestianya mendapat dukungan bukan saja dari kaum perempuan tetapi juga seharusnya dari kaum laki-laki, tetapi mengapa kemudian banyak kritik diajukan kepada mereka?
SASARAN KRITIK
Sebenarnya bangkitnya gerakan kaum perempuan itu banyak mendapat simpati bukan saja dari kaum perempuan sendiri tetapi juga dari banyak kaum laki-laki, tetapi perilaku kelompok feminisme radikal yang bersembunyi di balik 'women's liberation' telah melakukan usaha-usaha yang lebih radikal yang berbalik mendapat kritikan dan tantangan dari kaum perempuan sendiri dan lebih-lebih dari kaum laki-laki. Organisasi-organisasi agama kemudian juga menyatakan sikapnya yang kurang menerima tuntutan 'Women's Lib' itu karena mereka kemudian banyak mengusulkan pembebasan termasuk pembebasan kaum perempuan dari agama dan moralitasnya yang mereka anggap sebagai kaku dan buah dari 'agama patriachy' atau 'agama kaum laki-laki.'
Memang memperjuangkan kesamaan hak dalam memperoleh pekerjaan, gaji yang layak, perumahan maupun pendidikan harus diperjuangkan, dan bahkan pemberian hak-suara kepada kaum perempuan juga harus diperjuangkan, tetapi kaum perempuan juga harus sadar bahwa secara kodrati mereka lebih unggul dalam kehidupan sebagai pemelihara keluarga, itulah sebabnya adalah salah kaprah kalau kemudian hanya karena kaum perempuan mau bekerja lalu kaum laki-laki harus tinggal di rumah memelihara anak-nak dan memasak. Bagaimanapun kehidupan modern, kaum perempuan harus tetap menjadi ibu rumah tangga. Ini tidak berarti bahwa kaum perempuan harus selalu berada di rumah, ia dapat mengangkat pembantu atau suster bila penghasilan keluarga cukup dan kepada mereka dapat didelegasikan beberapa pekerjaan rumah tangga, tetapi sekalipun begitu seorang isteri harus tetap menjadi ibu rumah tangga yang bertanggung jawab dan rumah tangga tidak dilepaskan begitu saja.
Bila semula gerakan kaum perempuan 'feminisme' itu lebih mengarah pada perbaikan nasib hidup dam kesamaan hak, kelompok radikal 'Women's Lib' telah mendorongnya untuk mengarah lebih jauh dalam bentuk kebebasan yang tanpa batas dan telah menjadikan feminisme menjadi suatu 'agama baru.'
Sebenarnya halangan yang dihadapi 'feminisme' bukan saja dari luar tetapi dari dalam juga. Banyak kaum perempuan memang karena tradisi yang terlalu melekat masih lebih senang 'diperlakukan demikian,' atau bahkan ikut mengembangkan perilaku 'maskulinisme' dimana laki-laki dominan Sebagai contoh dalam soal pembebasan kaum perempuan dari 'pelecehan seksual' banyak kaum perempuan yang karena dorongan ekonomi atau karena kesenangannya pamer justru mendorong meluasnya prostitusi dan pornografi. Banyak kaum perempuan memang ingin cantik dan dipuji kecantikannya melalui gebyar-gebyar pemilihan 'Miss' ini dan 'Miss" itu, akibatnya usaha menghentikan yang dianggap 'pelecehan'itu terhalang oleh sikap sebagian kaum perempuan sendiri yang justru 'senang berbuat begitu.'
Halangan juga datang dari kaum laki-laki. Kita tahu bahwa secara tradisional masyarakat pada umumnya menempatkan kaum laki-laki sebagai 'penguasa masyarakat,' (male dominated society) bahkan masyarakat agama dengan ajaran-ajarannya yang orthodox cenderung mempertebal perilaku demikian. Dalam agama-agama sering terjadi 'pelacuran kuil' dimana banyak gadis-gadis harus mau menjadi 'pengantin' para pemimpin agama seperti yang dipraktekkan dalam era modern oleh 'Children of God' dan 'Kelompok David Koresy', dan di kalangan Islam fundamentalis banyak dipraktekkan disamping poligami juga bahwa kaum perempuan dihilangkan identitas rupanya dengan memakai kerudung sekujur badannya atau bahwa kaum perempuan tidak boleh menjadi pemimpin yang membawahi laki-laki, dan bukan hanya itu ada kelompok agama di Afrika yang yang mengharuskan kaum perempuan di sunat hal mana tentu mendatangkan penderitaan yang tak habis-habisnya bagi kaum perempuan. Di segala bidang jelas kesamaan hak kaum perempuan sering diartikan oleh kaum laki-laki sebagai pengurangan hak kaum laki-laki, dan kaum perempuan kemudian menjadi saingan bahkan kemudian ingin menghilangkan dominasi kaum laki-laki di masyarakat!
Kritikan prinsip yang dilontarkan pada feminisme khususnya yang radikal (Women's Lib) adalah bahwa mereka dalam obsesinya kemudian 'mau menghilangkan semua perbedaan yang ada antara perempuan dan laki-laki.' Jelas sikap radikal yang mengabaikan perbedaan kodrat antara kaum perempuan dan laki-laki itu tidak realistis karena faktanya toh berbeda dan menghasilkan dilema, sebab kalau kaum perempuan dilarang meminta cuti haid karena kaum laki-laki tidak haid pasti timbul protes, sebaliknya tentu pengusaha akan protes kalau kaum laki-laki diperbolehkan ikut menikmati 'cuti haid dan hamil' padahal mereka tidak pernah haid dan tidak mungkin hamil. Kesalahan fatal feminisme radikal ini kemudian menjadikan laki-laki bukan lagi sebagai mitra atau partner tetapi sebagai 'saingan' (rival) bahkan 'musuh ' (enemy)!' Sikap feminisme yang dirusak citranya oleh kelompok radikal sehingga menjadikannya 'sangat eksklusif' itulah yang kemudian mendapat kritikan luas.
Kritikan lain juga diajukan adalah karena dalam membela kaum perempuan dari sikap 'pelecehan seksual;' mereka kemudian ingin melakukan kebebasan seksual tanpa batas, seperti 'Women's Lib' mendorong kebebasan seksual sebebas-bebasnya termasuk melakukan masturbasi, poliandri, hubungan seksual antara orang dewasa dan anak-anak, lesbianisme, bahkan liberalisasi aborsi dalam setiap tahap kehamilan. Kebebasan ini tidak berhenti disini karena ada kelompok radikal yang 'menolak peran kaum perempuan sebagai ibu rumah tangga' dan menganggap 'perkawinan' sebagai belenggu. Andrea Dworkin bahkan menganggap 'hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan tidak beda dengan perkosaan!'
Di kalangan agama Kristen, feminisme itu lebih lanjut mempengaruhi beberapa teolog-perempuan yang menghasilkan usulan agar sejarah Yesus yang sering disebut sebagai 'History' diganti dengan 'Herstory' dan lebih radikal lagi agar semua kata 'Bapa' untuk menyebut Allah dalam Alkitab harus diganti dengan kata 'Ibu.' Ibadat dan pengakuan iman (Credo) tidak lagi menyebut 'Allah Bapa tetapi Allah Ibu' atau the 'Mother Goddess,' bahkan lambang salib perlu diganti dengan meletakkan tanda O (bulatan) tepat diatas lambang salib Kristus sehingga menjadi lambang kaum perempuan.
Kita sekarang menghadapi era informasi dimana kedudukan kaum perempuan dibanyak segi bisa lebih unggul dari kedudukan kaum laki-laki. Dalam hal dimana kedudukan isteri lebih baik daripada suami memang keadaanya bisa sukar dipecahkan, tetapi keluarga Kristen tentunya harus memikirkan dengan serius pentingnya peran ibu rumah tangga demi menjaga kelangsungan keturunan yang 'takut akan Tuhan' (Maz.78:1-8), dan disinilah pengorbanan seorang ibu perlu dipuji. Dalam hal seorang ibu berkorban untuk mendahulukan keluarga sehingga bagi mereka karier dinomor duakan atau dijabat dengan 'paruh waktu' lebih-lebih selama anak-anak masih kecil, seharusnya para suami bisa lebih toleran menjadi 'penolong' bagi isteri dalam tugas ini.
Sungguh sangat disayangkan bahwa banyak tokoh-tokoh perempuan sendiri tidak mengakui 'pekerjaan ibu rumah tangga sebagai profesi' dan menganggapnya lebih inferior daripada misalnya pekerjaan sebagai dokter, pengacara atau pengusaha, dalam sikap ini kita dapat melihat sampai dimana kuku feminisme radikal sudah pelan-pelan menusuk daging.
Pernah ketika ada kunjungan Gorbachev, presiden Rusia waktu itu, yang berkunjung ke Amerika Serikat, isterinya 'Raisa' bersama 'Barbara', isteri presiden Amerika Serikat George Bush, diundang untuk berbicara disuatu 'Universitas perempuan yang terkenal.' Ketika keduanya berbicara, sekelompok perempuan yang bergabung dengan 'women's lib' meneriakkan yel-yel bahkan membawa poster yang mencemooh mereka karena mereka hanya menjadi ibu rumah tangga yang tidak bisa mempunyai karier sendiri. Bahkan, beberapa profesor perempuan menolak hadir karena merasa direndahkan bila mendengar pembicara perempuan yang hanya seorang ibu rumah tangga. Pembawa Acara, menanggapi kritikan-kritikan itu kemudian berkomentar bahwa 'memang keduanya adalah ibu rumah tangga, tetapi karena dampingan keduanya, dua orang paling berkuasa di dunia dapat menciptakan kedamaian di dunia, suatu profesi luhur yang tiada taranya!'
SEBUAH INTROSPEKSI
Dibalik kritikan yang ditujukan terhadap 'Women's Lib' khususnya dan 'Feminisme' umumnya, kita perlu melakukan introspeksi karena sebenarnya 'feminisme' itu timbul sebagai reaksi atas sikap kaum laki-laki yang cenderung dominan dan merendahkan kaum perempuan. Ini terjadi bukan saja di kalangan umum tetapi lebih-lebih di kalangan yang meng 'atas namakan' agama memang sering berperilaku menekan kepada kaum perempuan.
Dalam menyikapi 'feminisme' sebagai suatu gerakan, kita harus berhati-hati untuk tidak menolaknya secara total, sebab sebagai 'gerakan persamaan hak' harus disadari bahwa usaha gerakan itu baik dan harus didukung bahkan diusahakan oleh kaum-laki-laki yang dianggap bertanggung jawab atas kepincangan sosial-ekonomi-hukum-politis di masyarakat itu khususnya yang menyangkut gender. Yang perlu diwaspadai adalah bila feminisme itu mengambil bentuk radikal melewati batas kodrati sebagai 'gerakan pembebasan kaum perempuan' seperti yang secara fanatik diperjuangkan oleh 'Women's Lib.'
Bagi umat Kristen, baik umat yang tergolong kaum perempuan maupun kaum-laki-laki, keberadaan 'sejarah Alkitab' harus diterima sebagai 'History' dan data-data para patriach (bapa-bapa Gereja) tidak perlu diubah karena masa primitif dan agraris memang mendorong terjadinya dominasi kaum laki-laki, tetapi sejak masa industri lebih-lebih masa informasi, kehadiran peran kaum perempuan memang diperlukan dalam masyarakat selain peran mereka yang terpuji dalam rumah tangga dan Alkitab tidak menghalanginya. Tetapi sekalipun begitu, Alkitab dengan jelas menyebutkan adanya perbedaan kodrati dalam penciptaan kaum laki-laki dan kaum perempuan. Kaum laki-laki memang diberi perlengkapan otot yang lebih kuat dan daya juang yang lebih besar, tetapi kaum perempuan diberi tugas sebagai 'penolong' yang sejodoh yang sekaligus menjadi ibu anak-anak yang dilahirkan dari rahimnya.
Kita harus sadar bahwa arti 'penolong' bukanlah berarti 'budak' tetapi sebagai 'mitra' atau 'tulang rusuk yang melengkapi tubuh.' Kesamaan hak harus dilihat dalam rangka tidak melanggar kodrat manusia. Kita harus sadar bahwa kotbah-kotbah yang sering menyalahgunakan ayat-ayat Efesus fasal 5 tentang 'hubungan suami dan isteri' (yang juga dilakukan oleh banyak penginjil perempuan) harus diletakkan dalam konteks bahwa 'suami harus mengasihi isterinya' (Efs.5:25). Tunduk dalam ayat-22 bukan sembarang tunduk (seperti kepada penjajah atau majikan) tetapi seperti kepada Tuhan (Kristus), dan 'kasih' bukanlah sekedar cinta tetapi dalam pengertian 'kasih Kristus' yang 'rela berkorban demi jemaat' (Efs.5:25) dan seperti 'laki-laki mengasihi' dirinya sendiri' (Efs.5:33). Tentu kita sadar bahwa 'berkorban' itu jauh lebih besar dan sulit dilakukan daripada 'tuntuk' bukan?
Gerakan feminisme sudah berada di tengah-tengah kita, peran kaum perempuan yang cenderung dimarginalkan dalam masyarakat 'patriachy' sekarang sudah mulai menunjukkan ototnya. Semua perlu terbuka akan kritik kaum perempuan yang dikenal sebagai penganut 'feminisme' tetapi feminisme harus pula mendengarkan kritikan dari kaum perempuan sendiri maupun kaum laki-laki agar 'persamaan' (equality) tidak kemudian menjurus pada 'kebebasan' (liberation) yang tidak bertanggung jawab.
Indonesia sebagai negara yang mempunyai budaya feodal memang menempatkan kaum perempuan di dapur, dan sekalipun ibu kita 'Kartini' sudah membela hak-hak kaum perempuan dan menaikkan masa depan kehidupan mereka agar lebih cerah, kelihatannya tempat kaum perempuan masih belum cukup cerah. Situasi di Indonesia memang sudah lebih baik dengan adanya menteri-menteri perempuan dan kini sudah banyak orang yang mengharapkan diterimanya presiden perempuan, tetapi kelihatannya masa depan kaum perempuan di Indonesia masih terus harus diperjuangkan, bukan saja oleh kaum perempuan sendiri melainkan juga oleh kaum laki-laki. ***

A m i n !

ETIKA PERGAULAN DALAM AJARAN ISLAM

ETIKA PERGAULAN DALAM AJARAN ISLAM
Oleh: K.H. S. Saggaf M. Al-Djufrie, MA
A. Pendahuluan
Islam sebagai agama menuntun pemeluknya untuk menjadikan Alqur’an dan Alhadis sebagai pedoman hidupnya. Pedoman hidup dimaksud, menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan sesama ciptaan Allah Swt.
B. Etika Pergaulan dalam Ajaran Islam
Etika pergaulan di dalam ajaran Islam, baik yang berhubungan dengan kehidupan sosial maupun yang berhubungan dengan sesama makhluk ciptaan Tuhan akan diuraikan hal-hal tertentu di antaranya:
1. Etika pergaulan bagi wanita
Wanita Islam tidak dibenarkan oleh ajaran Islam untuk bergaul bebas dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, baik lelaki muslim maupun lelaki non muslim. Bahkan lebih rawan lagi kalau ia bergaul dengan seorang non muslim yang tidak mengenal etika pergaulan yang sesuai ajaran agama Islam. Pergaulan./persahabatan antara dua jenis kelamin, terutama mereka yang belum menikah, dapat dipastikan akan membawa akibat dan dampak hukum yang negatif. Karena itu Nabi Muhammad Saw bersabda:
لايخلو ن احد كم بامرأ ة الامع ذي محرم (متفق عليه)
Artinya:
Janganlah sekali-kali seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang wanita kecuali bersama seorang mahramya (keluarga dekat) HR. Bukhari dan Muslim.
Hadis tersebut merupakan salah satu penjelasan dari Alqur’an mengenai mendekati zina. Mendekati zina dimaksud, berkhalwah itulah antara lain yang dimaksud oleh Alqur’an surah Al-Israa: 32 sebagai berikut.

وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً (32)
Artinya:
Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah sesuatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.
2. Laki-laki menyerupai perempuan
Saat ini di Indonesia termasuk Sulawesi Tengah, yaitu banyak laki-laki memakai pakain perempuan, seperti memakai anting-anting dan kalung (rantai), sedang perempuan memakai pakaian laki-laki seperti pakaian celana levis yang modelnya sangat sempit dan pakai baju kemeja atau kaos, yang kemudian baju itu dimasukkan dalam ikat pinggang sebagai layaknya laki-laki. Guntingan rambut juga persis model laki-laki. Perilaku yang demikian merupakan salah satu wujud dampak negatif dari budaya barat yang sedang digandrungi oleh sebagian masyarakat Indonesia, sebagai akibat dan konsekuensi arus global-isasi yang sedang melanda negara Republik Indonesia saat ini. Inkulturasi dan infiltrasi kebudayaan barat dan perembesan nilai-nilai negatif yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur universal yang tidak sesuai dengan budaya bangsa dan kaidah-kaidah Agama akan bermuarah kepada lemahnya ketahanan nasional bangsa Indonesia. Namun sampai sejauh ini masih belum disadari oleh sebagian ummat Islam yang begitu antusias menerima segala budaya asing yang ditiupkan oleh orang Barat dan tidak sesuai dengan budaya (kultur) bangsa dan ajaran Islam. Karena itu, ummat Islam sebaiknya jangan asal ikut-ikutan. Nabi Muhammad Saw pernah bersabda:
مـن تـشـبـه بـقـوم فهـو مـنهـم .
Artinya:
Bahwa barang siapa yang mengikuti dan meniru sesuatu kaum maka ia merupakan golongan dari mereka (kaum itu).
Dalam hal dimaksud, bukan berarti ummat Islam menutup pintu terhadap semua bentuk budaya yang datang dari Barat. Hal-hal yang bermanfaat patut diteladani dan diikuti, seperti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai ummat yang berusaha tegak lurus di jalan Allah Swt dan Sunnah Rasulullah Saw, kita dituntut untuk semakin meningkatkan taqwa dan semakin selektif terhadap semua yang datang dari luar Islam. Hal itu berarti ummat Islam harus mengkaji dan merenungkan mengenai perilaku yang sesuai keyakinannya atau malah bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agamanya. Berikut ini kami nukilkan beberapa sabda Nabi Muhammad Saw yang berkaitan dengan pertanyaan di atas yang dapat dijadikan pedoman oleh ummat Islam.
عـن ا بـن عـباس رضي الله عـنهـما قال: لـعـن رسو ل الله (ص) الـمخـنـثـيـن مـن الـرجـال والـمـتـر جـلا ت مـن الـنـسـاء .وفى روا يـة
Artinya:
Ibnu Abbas r.a. berkata: Rasulullah Saw melaknat orang laki-laki yang berlagak sebagai perempuan, dan perempuan yang berlagak meniru laki-laki.
Dalam riwayat lain:
لـعـن رسـول الله (ص) الـمـتـسـبـهـيـن مـنالـرجـا ل بالـنـساء والمـتـسـبـهـا ت من الـنسـاء با لـرجـا ل (رواه الـبخـاري)
Artinya:
Rasulullah Saw melaknat orang laki-laki yang meniru perempuan dan orang perempuan yang meniru laki-laki . (H.R. Bukhari).
Para ulama menjelaskan bahwa tidak patut dilaknat (dikutuk) kecuali orang-orang yang melakukan dosa besar. Oleh karena itu perbuatan tersebut dikategorikan sebagai dosa besar (kabaair). Karena itu, bila diteliti dan dicermati, maka hadits tersebut pada perinsipnya menjaga sifat kelaki-lakian (maskulin) atau (rujulah) pada setiap laki-laki dan sifat kewanitaan (feminim) tetap yang dimiliki oleh wanita. Jangan sampai pakaian, perhiasan dan tingkah laku dapat meng-geser sifat kelaki-lakian menjadi kewanita-wanitaan dan sebagainya.
3. Lelaki Memakai Cincin Emas
Menurut jumhur ulama, memakai cincin yang terbuat dari emas murni haram hukumnya bagi kaum laki-laki . Pendapat mereka itu berdasarka hadis-hadis yang shahih. Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Abbas:
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال رأى رسول الله (ص) في يد رجل جا تما من ذهب فنزعه وطرحه وقال: يعمد احد كم الى جمرة من نار فجعلهافى يده. فقيل للر جلبعدما ذهب رسو للله (ص) خذ خا تمك انتفع به فقال: لا والله لاا خذه وقد ترحه رسو ل الله (ص) (اخرجه مسلم)
Artinya:
Bahwa Rasululllah Saw, melihat cincin emas di tangan seorang laki-laki, lalu beliau mencabutnya dan melemparkannya sembari berkata: bahwa apa yang dipakainya itu hakikatnya adalah barah api ditangannya” setelah Rasu-lullah pergi seorang berkata kepadanya orang tersebut: Ambillah cincinmu dan manfaatkanlah dia orang tersebut menjawab: tidak, demi Allah aku tidak akan mengambilnya karena Rasulullah telah melemparkannya.
لعن رسو ل الله (ص) المتشبهين من الرجال با لنساء والمتشبهات من لنساء بالرجال
Artinya:
Rasulullah melaknat kaum laki-laki yang menyerupai kaum perempuan (dalam sikap tingkah laku, dan berpakaian). Sebaliknya Allah juga mengutuk kaum perempuan yang menyerupai kaum laki-laki.’’ H.R. bukhari. Hadits lain menyebutkan, bahwa Rasulullah Saw. melaknat laki-laki yang memakai pakaian perem-puan dan perempuan yang memakai pakaian laki-laki.
2) Mencium tangan kedua orang tua (ayah bunda), guru, dan orang-orang yang shaleh, termasuk tata krama dan sikap yang terpuji. Imam Nawawi dalam kitabnya Riyadhus shalihin” pada bab istihbaal nushafahah” halaman 398, menyatakan bahwa mencium tangan orang yang shaleh (taqwa) hukumnya sunnah. Pendapat tersebut dikuatkan oleh beberapa hadits dalam kitab tersebut di atas.
4. Status Hukum Menutup Aurat.
Salah satu hal yang sangat memprihatinkan bagi ummat Islam, yaitu ada sementara dari ummat Islam yang meragukan kepastian hukum dari masalah-masalah yang berstatus (masail Qath’iyyah) yang dalilnya jelas dan pasti (Sharieh/qath’ie) yang disepakati oleh seluruh ulama tidak terkecuali mengenai tutup aurat. Hal dimaksud, barangkali gejala dari apa yang dikatakan sebagai pendangkalan dalam memahami ajaran-ajaran Islam yang diupayakan oleh kaum orientalis untuk mengacau-balaukan ummat Islam. Hal ini salah satu hal yang negatif dari kaum orientalis terhadap Islam dan ummatnya.
Ayat-ayat Al-qur’an mewajibkan hijab/tutup kepala dan tubuh bagi wanita, tetapi tetap saja ada di antara orang Islam tidak memahaminya. Hal seperti ini bagaikan pertanyaan orang yang buta mengingkari matahari di siang bolong dan bulan purnama di malam hari, dengan alasan bahwa ia tidak pernah melihatnya. Apa yang dimaksudkan di atas (tutup aurat) terdapat dalam Alqur’an surat An-Nur: 31 sebagai berikut.
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفـَظـْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَ يُـبْد ِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاّ مَا ظَهَـرَ مـِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عـَلَى جُيُوبِهِنَّ . . . .
Artinya:
Dan katakanlah kepada wanita yang beriman hendak-lah mereka menahan pandangannya dan memelihara/ menjaga kehormatan (kemaluannya) dan janganlah mereka menam-pakkan/memamerkan perhiasan mereka, kecuali apa yang biasa kelihatan saja, dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung/ selendang mereka di atas lubang baju mereka (leher/dada/mereka).
Pada ayat tersebut dengan terang dan jelas Allah Swt memerintahkan kepada wanita yang beriman untuk memakai khimar atau kerudung penutup kepala wanita, bahkan sekaligus menutupkannya ke pundak dan leher, karena kata “juyub” sebagai plural atau jamak dari “jaib” berarti lubang leher baju wanita.
Untuk melengkapi uraian di atas kami cantumkan sebuah hadits yang menyatakan bahwa Nabi telah memerin-tahkan agar wanita-wanita yang telah baligh menutup aurat mereka. Sebuah hadis yang diterangkan oleh Sitti Aisyah r.a. yang artinya:
“Diterima dari Aisyah r.a. ia berkata: Sesungguhnya Asma binti Abi Bakar r.a. masuk menemui Nabi Saw, sedang ia memakai pakaian yang amat tipis (tembus pandang) maka Nabi memalingkan mukanya dari padanya sambil berkata:” Hai Asma, seorang wanita bila telah masa haidnya (sudah baligh), tidaklah pantas dilihat dari padanya selain dari pada ini dan ini, “ujar Rasulullah sembari melihat (menunjuk) kepada muka dan kedua telapak tangannya.
Hadis tersebut, berarti wanita itu harus menutup auratnya di mana saja ia berada, kecuali kepada para muhrimnya sebagaimana tercantum dalam surat An-Nur ayat 31. Karena itu, Kata “khumur” sebagaimana tercantum dalam surat An-Nur ayat 31 itu adalah jamak dari “khimar”. Khimar ialah selendang atau sejenisnya yang menutupi rambut wanita dan ditutupkannya juga sampai keleher dan pundaknya.
5. Ucapan Salam dalam Islam
Perlu diketahui bahwa ucapan salam yang telah baku dalam Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad ialah “Assaalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh”, kalau mau disingkat minimal “Assalamu Alaikum”. Ucapan salam ini hanya berlaku di kalangan ummat Islam. Yang dipergunakan untuk setiap saat, setiap waktu dan tidak perlu merubah kalimat atau redaksinya, baik yang disalami seorang atau lebih dari seorang, baik lelaki maupun wanita. Nabi Muhammad mengajarkan dan menganjurkan kepada ummatnya untuk menyalami (mengucapkan salam) kepada setiap orang (muslim) baik yang kita kenal maupun yang kita tidak kenal. Bahkan Nabi Muhammad telah menunjukan keteladanan yang baik kepada ummatnya dalam menyebarluaskan sampai beliau mengucapkan salam kepada anak-anak sekalipun. Karena itu, membalas salam (penghormatan) hukumnya wajib berdasarkan Alqur’an surah An-Nisa: 86 sebagai berikut.
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا(86)
Artinya:
Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik atau balaslah (dengan serupa). Baik yang menyalami itu lelaki maupun wanita muslim atau non muslim dengan ketentuan ketentuan khusus bagi yang non muslim. . . .
6. Kalung Emas Untuk Tabungan
Para ulama (jumhur ulama) menyatakan bahwa memakai cincin, kalung dan sebagainya yang terbuat dari emas ‘murni’ hukumnya haram bagi laki-laki, apapun alasan dan dalih untuk memakainya. Dasar Hukumnya adalah hadits riwayat muslim dan lain-lain, dari Ali bin Abi Thalib:
عـن عـلي :نهى رسول الله (ص) عـن الـتـخـتـم بالـذهـب
Artinya:
Sesungguhnya Nabi melarang kaum lelaki memakai cincin yang terbuat dari emas”.
Hadits riwayat Ahmad, Nasai dan Turmidzi dari Abu Musa:
عـن ابى موس الأشعري رضى الله عـنه ان رسول الله (ص) قال: حرم لباس الحرير والذهب عـلى زكورامتي وأحل لانا ثهم. (رواه الترمذي)
Artinya:
Sesungguhnya Nabi telah bersabda: Telah diharamkan memakai sutera dan emas kepada kaum laki-laki dari ummatku dan dihalalkan kepada kaum wanitanya.
Hadis Riwayat Muslim dari Ibnu Abbas:
عـن ابن عـباس رض الله عـنهما قال: رأى رسول الله (ص) فى يد رجل خاتما من ذهب فـتر عه وطرحه وقال: يعمد احد كم إلى جمرة من نا ر فيجعلها فىيده. فقيل للرجل بعد ما ذهب رسول الله (ص) خذخا تمك انقعو به فقال: لاوالله لا اخذه وقد طرحه رسول الله (ص) (اخرجه مسلم)
Artinya:
“Dari Ibnu Abbas ia berkata bahwa: Rasulullah melihat dijari tangan seorang lelaki sebentuk cincin emas: Beliau segera mencabutnya dan melemparkannya, seraya berkata: Bahwa orang yang memakai cincin emas itu sama halnya dengan orang memegang/menggenggam barah api ditangannya. Setelah Rasulullah pergi, seorang berkata kepada orang tersebut, ambillah cincinmu dan manfaatkanlah, orang terse-but menjawab: tidak, demi Allah, aku tidak akan mengam-bilnya sebab Rasulullah telah melemparkannya.
7. Baca Doa Selamat Di Rumah Non Muslim
Pada prinsipnya orang Islam (muslim) tidak dilarang oleh Allah Swt untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang non muslim (bukan Islam) yang bersahabat dan tidak memusuhi orang Islam, yang dalam istilah hukum dinamakan “kafir Dzimmi” bukan “bukan kafir Harbi”
Allah berfirman dalam Alqur’an surah Al-Mumtahanah: 8
لاَ يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya:
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berklaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.(Q.S Almumtahanah ayat 8).
Menurut hemat penulis, bila ada tetangga yang non muslim dan ia adalah orang baik yang mengundang untuk membaca doa selamat, maka tidak ada salahnya untuk dipenuhi undangannya dengan nawaitu (niat) agar ia mendapat hidayah dari Allah dan selamat masuk Islam. Mungkin dengan sikap toleran dan bersahabat itu, ia akan lebih dekat dengan kita dan tertarik untuk memeluk agama Islam .
8. Operasi Mengganti Jenis Kelamin
Ilmu kodekteran yang didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi serba canggih saat ini dapat mengubah segala sesuatu dari kondisi yang sebenarnya. Bahkan konon ilmu pengetahuan yang disertai peralatan canggih dimaksud, dapat mengubah hak cipta Tuhan yang asli menjadi palsu. Misalnya: dapat mengoperasi atau mengubah lelaki (banci) menjadi wanita dan demikian pula sebaliknya.
Perilaku yang demikian, dapat diungkapkan bahwa status hukum operasi pergantian dan penyempurnaan kelamin yang pada prinsipnya ajaran agama Islam mengharamkan operasi ganti kelamin bagi orang yang lahir dalam keadaan normal jenis kelaminnya sebagai pria dan/atau wanita. Dalilnya antara lain hadits Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Mas’ud yang Artinya: ”Allah mengutuk para wanita tukang tato yang meminta ditato, yang menghilangkan bulu muka, yang meminta dihilangkan bulu mukanya, dan para wanita yang memotong panggur giginya, yang semua itu dikerjakan dengan maksud kecantikan sehingga mengubah ciptaan Allah Swt”. Hadits tersebut, menunjukkan bahwa seorang pria atau wanita yang normal kelaminnya dilarang oleh ajaran agama Islam untuk mengubah jenis kelaminnya. Hal itu berarti mengubah ciptaan Allah tanpa alasan yang rasional dan/atau sah yang dapat dibenarkan oleh hukum Islam. Karena itu, jenis kelamin normal yang diberikan oleh Allah kepada seseorang, patut disukuri dengan jalan menerima kodratnya tanpa mengubah jenis kelaminnya. Lain halnya orang yang lahir tidak normal jenis kelaminnya yang dapat dibagi atas dua kelompok, yaitu:
(1) Pertama, apabila seseorang mempunya organ kelamin dua/ganda; penis dan vagina, maka untuk memperjelas jenis kelaminnya, ia boleh melakukan operasi, yaitu mematikan organ kelamin yang satu dan menghidupkan organ kelamin yang lainnya yang sesuai dengan organ kelamin bagian dalam. Misalnya seseorang mempunyai dua alat kelamin yang berlawanan yakni penis dan vagina, dan di samping itu, ia mempunyai rahim dan ofarium yang merupakan ciri has dan utama untuk jenis kelamin wanita, maka ia boleh disarankan operasi untuk mengangkat penisnya demi mem-pertegas identitas jenis kelamin kewanitaannya. Dan sebaliknya, ia tidak boleh mengangkat vaginanya dan membiarkan penis-nya, karena berlawanan dengan organ kelaminnya yang bagian dalam yang lebih vital, yakni rahim dan ofarium;
(2) Kedua, Apabila seseorang mempunyai organ kelamin satu yang kurang sempurna bentuknya, misalnya ia mempunyai vagina yang tidak berlubang dan ia mempunyai rahin dan ofarium, maka ia boleh, bahkan dianjurkan oleh Agama Islam untuk operasi untuk memberi lobang pada vaginanya. Demikian pula kalau seseorang mempunyai penis dan testis, tetapi lubang penisnya tidak berada diujung penisnya, maka iapun boleh operasi untuk dibuatkan lubang yang normal.
Dalil-dalil syar’i yang membenarkan operasi yang bersifat memperbaiki dan menyempurnakan organ kelamin, antara lain sebagai berikut: Lijal bil maslahah wadaf il mafsadah, yaitu yang prinsip dasarnya mengutamakan kemaslahatan nya dan mencegah/menghilangkan kemudharatannya. Kare-na itu bila kemajuan teknologi medis dapat memberikan kondisi kesehatan fisik dan psikis/mental si banci alami itu melalui operasi kelamin, maka Ajaran agama Islam membolehkan bahkan menganjurkan karena hal itu akan membawa mas-lahah (manfaat) lebih besar dari pada mafsadahnya (keburuk-annya).
Dari segi lain kalau kita katakan bahwa orang yang banci alami itu sebagai orang yang menderita sesuatu penyakit, maka ajaran agama Islam mewajibkan kepadanya untuk berikhtiar diobati. Nabi Muhammad Saw bersabda:
تداو وافان الله عـز وجـل لـم يـضع داء إ لا وضـع له د واء غـيـرداء واحـد الـهـرم (رواه ابـو د ا ود)
Artinya:
Berobatlah wahai hamba-hamba Allah, karena sesung-guh nya Allah tidak mengadakan penyakit kecuali mengadakan pula obatnya; kecuali satu penyakit, ialah penyakit pikun (H.R. Abu daud).
Namun demikian muncul pertanyaan: Bagaiman status jenis kelamin setelah kelaminnya dioperasi yang sifat dan tujuan operasi tersebut demi memperbaiki dan menyempurnakan jenis kelaminnya saja, bukan sifat dan tujuannya mengubah ciptaan Allah? Setelah yang bersangkutan berhasil dioperasi perbaikan atau organ kelaminnya, maka seyogyanya ia segera mengajukan permohonan kepada lembaga pengadilan untuk mendapat kan legitimasi atau status jenis kelaminnya yang baru untuk menghindari konflik yang mungkin terjadi dalam perkawinan atau kewa-risan. Sebagai konsekwensi dari adanya izin seorang wanita/ banci alami menjalani operasi perbaikan jenis kelaminnya, maka ia boleh melakukan perkawinan dengan pasangan yang berbeda jenis kelaminnya, dan ia berhak mendapat bagian warisan sesuai jenis kelaminnya setelah di operasi.
Selain itu, masih muncul pertanyaan: siapa yang akan berhak bertindak menjadi wali bila wanita yang tadinya lelaki (waria) menikah?, maka yang berhak akan menjadi wali ialah wali nasab yaitu ayah, kakek, saudara laki-laki sekandung dan seterusnya sesuai dengan urutan yang sudah ditetapkan oleh Allah di dalam Alqur’an. Kalau wali nasab tidak ada, maka perkawinan pindah kepada wali hakim. Di samping itu, masih muncul pertanyaan : siapa yang memandikan bila yang bersangkutan meninggal dunia? Bila yang meninggal sudah jelas status kelaminnya sebagai wanita sesudah menjalani operasi perbaikan kelamin, maka yang berhak memandikannya adalah sesamanya sebagai wanita.
9. Natal bersama bolehkah?
Perlu diketahui bersama oleh ummat Islam bahwa tidak dilarang oleh ajaran agama Islam untuk bekerja sama dan bergaul dengan ummat agama lain dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan dalam bentuk persoalan keduniaan. Hal itu berdasarkan ayat-ayat di bawah ini:
1) Dalil Hukum yang bersumber dari Alqur’an:
(1( Ayat 113 surat Al-hujurat:
َيا يُّـهَـاالـنَّـاسُ اِنَّا خَـَلــقْـنـَكُـْم مِنْ ذَكَـٍر وَاُنْـثَى وَجَـعَـلْـَنكُـمْ شُـعُوبًا وَقَـبَائِـلَ لِـتَعَـا رَفُوْا اِ نَّ اَكْـرَمَكُـْم عِـْنـدَاللهِ اَتْـقَـكُـمْ اِنَّ الَلهَ عَـِلـيْـمٌ خَا بِــيْـرٌ
Artinya:
”Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha menge-tahui lagi maha mengenal.”
(2) Surat Almumtahanah yang artinya:
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku baik terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
Ummat Islam tidak boleh mencampuradukkan aqidah dan agamanya dengan aqidah dan peribadatan agama lain, berdasarkan ayat-ayat tersebut dibawah ini:
(3) Alqur’an surah Alkaafirun: 1-6 sebagai berikut.
قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ(1) لاَ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ(2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ(3) وَلاَ أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ(4) وَلاَ أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ(6)
Artinya:
Katakanlan: Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah men jadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah Agamamu, dan untuk-kulah Agamaku.
(4) Albaqarah: 42, Al-Maidah: 72 dan 73
وَلاَ تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُون َ(42)
Artinya:
Dan janganlah kamu campur adukkan yang baik dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang baik itu sedang kamu mengetahui.”
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَابَنِي إِسْرَائِيلَ اعْـبُدُواا للَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
Artinya:
Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Tuhan itu lebih dari satu, Tuhan itu mempunyai anak, dan Nabi Isa Almasih itu adalah anaknya, maka orang itu kafir dan musyrik.
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إ ِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلاَّ إِلـَهٌ وَاحِدٌ وَإ ِنْ لَمْ يَنـْتَهُواعَـمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذ ِينَ كَـفَرُوا مِنـْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya:
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: bahwasanya Allah dari salah satu yang tiga, Padahal sekali-kali tak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan yang maha Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara kamu akan ditimpa siksaan yang pedih.
Bahwa Allah pada hari kiamat nanti akan bertanya kepada Nabi Isa Al-Masih: “apakah ia pada waktu hidup di dunia menyuruh kaumnya agar mereka mengakuinya (Isa) dan ibunya (Maryam) sebagai Tuhan. Isa menjawab, tidak seperti terdapat pada surat Al-Maidah ayat 116-118 sebagai berikut ini:
وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَاعِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ ءَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ (116) مَا قُلْتُ لَهُمْ إِلَّا مَا أَمَرْتَنِي بِهِ أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ (117) إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيم ُ (118)
Artinya:
Dan ingatlah ketika Allah berfirman, “Hai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia. Jadikanlah aku dan Ibuku dua orang Tuhan selain Allah?. Isa menjawab, maha suci engkau, tidaklah patut bagiku apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka ten-tunya engkau pernah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau mengetahui perkara yang baik-baik. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang engkau perintahkan kepadaku (mengata-kannya) “Sesungguhnya Allah Tuhanku dan Tuhanmu“ dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada di antara mereka. Maka setelah engkau wafatkan (angkat) aku engkaulah yang mengawasi mereka. Dan engkau adalah maha menyaksikan segala sesuatu.
Agama Islam mempunyai ajaran yang mengungkapkan bahwa Allah Swt itu hanya satu, berdasarkan surat Al Ikhlas yang artinya: ”Katakanlah: Dialah Allah yang maha Esa, Allah adalah yang tergantung kepadanya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan dia”.
Bila dikaji ajaran agama Islam, dapat ditemukan di dalamnya ajaran mengenai menjauhkan diri dari hal-hal yang subhat dan larangan Allah Swt, serta mengutamakan mencegah mafsadah dari pada menarik maslahat, berdasarkan hadits dari Numam Ibn Basyir yang artinya: “Sesungguhnya yang halal itu telah jelas dan yang haram itu pun telah jelas, akan tetapi di antara keduanya itu banyak yang subhat (yang meragukan). Kebanyakan orang tidak mengetahui yang subhat itu. Barang siapa memelihara diri dari yang subhat itu, maka bersihlah Agama dan kehormatannya, tetapi barang siapa jatuh pada subhat berarti ia telah jatuh kepada yang haram”.
2) Kaidah Ushul Fikhi.
Kaidah ushul fikhi yang artinya: Mencegah kerusakan itu didahulukan dari pada menarik kemaslahatan. Jika tidak demikian, sangat mungkin mafasidnya (dampak negetif-nya) yang diperoleh sedangkan maslahatnya (manfaatnya) tidak dihasilkan.
Setelah mencermati apa yang diuraikan diatas, maka dapat diketahui dan dipahami sebagai berikut.
1) Bahwa perayaan Natal bagi orang-orang kristen adalah ibadah.
2) Bahwa ummat Islam harus berusaha untuk memelihara iman dan taqwanya kepada Allah Swt.
3) Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah Swt, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan natal.
4) Mengikuti upacara natal bersama bagi Ummat Islam hukumnya “HARAM”.
C. Penutup
Demikian uraian 9 (sembilan) masalah dalam kode etika Islam bagi kehidupan sosial bagi ummat Islam yang mendiami negara Republik Indonesia